Tanpa Kebebasan, Harmoni Hancur
Iklim kebebasan dan kemerdekaan bukanlah pemberian, tapi sesuatu yang harus direbut dan dipertahankan. Seperti apa? Berikut wawancara Novriantoni dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Ahmad Taufik, ketua Garda Kemerdekaan, yang memperjuangkan kemerdekaan warga negara dalam menjalankan agamanya.
Apa itu Garda Kemerdekaan dan mengapa perlu ada Garda Kemerdekaan?
Garda Kemerdekaan adalah organisasi yang diproklamasikan pada 30 September 2005 di Gedung Perpustakaan Nasional. Anggotanya terdiri atas individu-individu yang miris dengan persoalan kekinian bangsa kita yang mulai terpecah belah. Ini dimulai dari adanya sekelompok kecil orang yang punya klaim seperti kelompok besar, yang mencoba menghancurkan kemerdekaan dan kebebasan kita, terutama kebebasan orang-orang dalam beragama.
Ketika Soeharto jatuh, kita menyangka hanya dia biang kerok masalah kesewenang-wenangan. Tapi, setelah biang kerok itu lengser, rupanya masih ada saja unsur-unsur lama yang mengganggu kemerdekaan tiap-tiap orang. Karena itu, kita harus bergerak, nggak bisa lagi sekadar wacana.
Mengapa Garda Kemerdekaan fokus dalam pembelaan terhadap kebebasan beragama?
Garda Kemerdekaan hadir untuk menjaga agar orang tak seenaknya merusak dan merampas hak orang lain. Jadi, kita menginginkan adanya kemerdekaan dalam beragama. Kami tidak menggunakan kata kebebasan karena selalu dikonotasikan sebagai keliaran. Padahal, sebetulnya kita juga harus mendukung kebebasan.
Karena itu, kami memakai kata kemerdekaan; bagaimana kita merdeka. Bebas adalah bagian dari kemerdekaan.
Tapi, bagaimana mempertahankannya?
Ketika ada diskusi atau wacana yang berpikiran lebih kritis dalam melihat persoalan kekinian dan persoalan keagamaan, lalu ada yang menyerang, pemikiran kritis akan terganggu. Nah, dalam soal begitu, tugas kami adalah di luar.
Bisa saja individu-individu kami ikut diskusi, tapi keberadaan kami lebih penting untuk menjaga agar diskusi tidak dirusak oleh orang-orang yang antipencerahan. Kami bisa saja menjaganya bersama polisi, satpam, atau bekerja sama dengan masyarakat sekitar, agar tidak ada orang yang menyerang kelompok warga negara lain hanya karena berbeda pendapat. Itu tidak boleh terjadi.
Islam masuk Indonesia dan bisa diterima secara luas oleh masyarakat, karena ia tidak diperkenalkan dengan golok atau pentungan, dan penyebar awalnya tidak marah-marah. Dari situlah terjadinya proses akulturasi.
Saya kira, orang-orang yang melakukan tindak kekerasan atas nama Islam seharusnya kembali mempelajari bagaimana Islam kali pertama masuk ke Indonesia.
Jadi Anda ingin adanya proses remoderasi masyarakat Islam Indonesia?
Ya, dan kita harus belajar dari berbagai negara tentang perkembangan kaum radikal Islam. Kita harus belajar dari kasus Aljazair, dan terutama mengambil pelajaran dari bagaimana Islam disalahgunakan oleh Taliban di Afghanistan. Saya takut, sekarang bangsa kita sedang mengalami Talibanisasi.
Saya juga khawatir, beberapa partai yang mengaku Islam di Indonesia sudah mengubah agenda mereka. Pertama-tama mereka memang maju dengan semangat antikorupsi, tetapi yang dilakukan sekarang ini bukan lagi semangat antikorupsinya, tetapi memajukan syariat melalui perda-perda.
Jangan-jangan masyarakat kita memang radikal dalam mengekspresikan keberagamaannya?
Menurut saya tidak. Saya lihat itu hanya ekspresi sebagian orang. Saya kemarin kebetulan hadir dalam acara tarekat Naqsabandi Haqqani. Ternyata, banyak dari mereka yang tidak suka dengan cara-cara yang dilakukan orang-orang yang mengaku harus ada syariat Islam dan sebagainya itu.
Jadi, banyak sekali umat Islam yang tidak setuju dengan cara-cara kasar itu. Tapi, selama ini mereka diam saja melihat mereka yang teriak-teriak minta syariat itu.
Survei PPIM-Freedom Institute dan JIL beberapa bulan lalu menunjukkan, dukungan atas fatwa-fatwa MUI memang kuat sekali. Masyarakat membenarkan fatwa MUI, tetapi tak berarti mereka suka tindak kekerasan atas kelompok-kelompok yang dianggap sesat oleh MUI.
Apa bahayanya kalau kita tidak memperjuangkan kebebasan bagi orang lain?
Harmonisasi dalam masyarakat hancur. Dalam berbangsa, kita bisa terpecah-belah dan dengan begitu, kekuatan asing dengan mudah masuk. Sebab, sesama warga berantem sendiri.
Jadi, kelompok-kelompok yang selama ini merusak, menyerang orang lain secara fisik, klaimnya ingin mempertahankan negara, tapi justru merekalah pelaku perusakan. Saya juga heran, ada beberapa pejabat negara yang ikut memecah-belah bangsa meski lewat pernyataan-pernyataan, seperti pernyataan Menteri Agama atas Ahmadiyah.
MUI yang seharusnya mengharmonisasi keberagamaan masyarakat juga menyesat-nyesatkan orang saja. Saya sudah melakukan penelitian di beberapa tempat yang kelompok Ahmadiyahnya dihancurkan oleh massa. Sangat menyedihkan dan penuh kezaliman. Semua pelaku perusakan mengatakan, kami sudah berhak melakukan itu berdasarkan fatwa MUI.
Adakah cara yang lebih mencerahkan yang bisa ditempuh Menag untuk menjaga hubungan harmonis antarumat beragama?
Seharusnya tidak ada pernyataan yang sesat-menyesatkan itu. Kalaupun ada pernyataan sesat, itu tidak boleh diambil Menteri Agama RI. Sebab, dia Menteri Agama Republik Indonesia, bukan Republik Islam Indonesia. Negara ini berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dan sepanjang pengetahuan saya, dasar itu belum berubah. Tindakan sesat-menyesatkan yang berujung kekerasan tak bisa dibiarkan berkembang lagi di negeri ini.
Mengapa Anda mengatakan Menag tidak berhak mengatakan kelompok ini atau itu sesat?
Dia pejabat negara. Kalau saya selaku pribadi yang tidak punya jabatan tertentu mengatakan suatu kelompok itu sesat, itu hak individu saya dan tidak punya pengaruh apa-apa.
Masalahnya menjadi lain jika yang mengatakan sesat itu menteri agama. Menteri agama RI adalah Menteri Agama Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dan negara RI sudah meratifikasi beberapa kovenan internasional tentang hak-hak sipil.
Itu mengkhawatirkan bagi saya. Sebagai individu, silakan Bapak Maftuh Basuni mengatakan begitu, tetapi sebagai Menteri Agama, dia tidak boleh mengatakan begitu. Soalnya, negara kita ini memang Bhinneka Tunggal Ika. Mestinya, yang dia lakukan adalah bagaimana masing-masing kelompok orang tidak saling bersinggungan karena perbedaan-perbedaan paham.
Apa yang membuat reaksi umat Islam Indonesia atas Ahmadiyah ataupun Lia Eden begitu keras?
Mungkin karena klaim-klaim kebenaran sepihak dan ketakutan-ketakutan kita sendiri akan masa depan Islam.
Anda kini melihat proses penyeragaman corak keberagamaan dalam masyarakat Islam Indonesia?
Ya. Dari situ, saya melihat kesalahan. Sebetulnya, sejak awal negara ini didirikan, tidak ada persoalan agama resmi atau tidak resmi. Itu baru muncul dalam Penetapan Presiden Soeharto (PNPS).
PNPS pun sebetulnya tidak tegas mengatakan mana agama yang resmi dan mana yang tidak resmi. Yang ada hanya ungkapan agama-agama yang banyak dianut di Indonesia. Jadi, sebetulnya, di PNPS itu hanya ada urutan agama-agama yang banyak dianut di Indonesia.
Seharusnya, itu dipahami bukan sebagai UU atau peraturan yang menyatakan agama yang resmi dan tidak resmi di negeri ini. Sebetulnya, ada kesalahan interpretasi di situ, karena aturan itu diturunkan pada kebijakan Departemen Dalam Negeri dan Departemen Agama menjadi agama yang resmi dan tidak resmi.
Anda pernah punya pengalaman sebagai seorang yang keras dalam beragama ya?
Ketika kecil, saya kebetulan sekolah di madrasah sekitar Tanah Abang. Keluarga saya dari lingkungan NU yang menganut mazhab Syafi’i. Jadi biasanya, kami memberlakukan agama seperti yang dirumuskan dalam madzhab Syafi’i.
Ketika beranjak remaja, saya mulai berkenalan dengan organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) yang bercampur-baur di dalamnya mereka yang keras-keras dan sebagainya.
Bahkan dulu, saya punya kelompok yang berikrar bahwa setiap orang mesti memiliki senjata tajam untuk melawan musuh, sekurang-kurangnya jarum pentul. Teman-teman saya ada yang setiap hari membawa celurit untuk melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain yang tidak sesuai dengan paham agamanya. Pada saat SMA, saya ikut pengajian rutin Sabtu, lalu mulai bergaul dengan banyak orang.
Dalam perkembangannya, corak keberagamaan saya mulai berubah. Mungkin karena banyak bergaul dengan orang lain, banyak membaca buku, dan faktor-faktor lain. Dari situ saya merasa, memang kayaknya ada yang salah dalam diri umat kita ini karena menganggap diri selalu saja paling benar. Menganggap diri kita yang paling benar itu ternyata adalah kesalahan.
sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=227747
Pendidikan Nasib
8 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar