Ini artikel buat tulisan ringan Piala Dunia di Koran Tempo. Tapi rupanya ditolak, ya, dipublish disini aja, ya?
Bekas Presiden Suharto, sebaiknya jangan meninggal dulu, sebelum pesta akbar Piala Dunia berakhir. Kalau Suharto, meninggal, kawatir Warga Negara Indonesia yang tinggal di Indonesia tak bisa menonton pertandingan final Itali versus Perancis. Lihat saja pada awal pertandingan baru dimulai yang muncul, Titik anak Suharto.
Saya teringat, saat Ibu Tien Soeharto meninggal pada 1996. Waktu itu saya tinggal di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat, para penghuni marah-marah, karena selama sepekan, saat isteri orang nomor satu di Indonesia meninggal, televisi tak menyiarkan Liga Itali dan Liga Inggris. Televisi hanya diisi, acara-acara yang berkaitan dengan duka cita.
Padahal sepakbola adalah salah satu hiburan para penghuni penjara. Kami biasa menonton di selasar Blok K, sebelum masuk kembali ke dalam sel. Para penjudi baik yang berada di dalam rumah tahanan, maupun bandar yang berada di luar tembok penjara, yang dihubungi lewat telepon seluler, juga mati angin. Karena seluruh saluran televisi di pool untuk acara duka bersama.
Tak salah bila para penggemar bola, terutama yang di dalam penjara-karena minimnya hiburan- berdoa bersama-sama agar bekas Presiden Suharto jangan meninggal dulu, sebelum pertandingan final piala dunia berakhir. Biar bagaimanapun, seperti tiga presiden yang sudah lewat, pemerintah yang sekarang berkuasa, masih merupakan "kaki tangannya." Terbukti dengan tak diadilinya penguasa orde baru itu, walaupun setumpuk kejahatan telah dilakukan, baik kejahatan ekonomi maupun kejahatan kemanusiaan.
Bahkan, demonstrasi mahasiswa selama tujuh hari-tujuh malam, menjelang akhir Piala Dunia, yang meminta bekas penguasa orde baru itu diadili, tak bergaung. Justru para pembela Suharto, baik atas nama kemanusiaan atau materi, berani memasang spanduk di beberapa tempat di Jakarta.
Jika Suharto meninggal, dan pertandingan final tak muncul di televisi yang memonopoli siaran itu, dipastikan banyak orang yang kecewa, frustrasi, mungkin juga bunuh diri. Bukan karena sayang pada bekas presiden selama 32 tahun itu, namun karena tak ada pertandingan penutup. Kalau orang makan, bagaikan tak ada minumnya.
Karena sepakbola sekarang ini bukan hanya sekadar permainan yang dilakukan 22 orang memperebutkan satu bola bundar saja, tetapi menjadi tempat penghasilan, bahkan agama. Perekonomian Jerman, menurut berita media massa, meningkat dengan adanya final piala dunia di negeri ini. Belum lagi para penjudi yang pasti meraup keuntungan besar selama sebulan penuh ini. Para penjudi, mulai dari yang kecil-kecilan sampai yang kakap, bukan hanya sekadar tebak skor pertandingan atau siapa menang. Namun, segi-segi kecil lainnya bisa dijadikan ajang adu cari untung. Misalnya, voor setengah, voor satu, gol menit ke berapa, pemain yang mencetak gol, ada perpanjangan waktu, bahkan saat head to head tendangan pinalti.
Miliaran pasang mata hampir tiap hari memelototi layar gelas. Pantas saja bila dianggap agama, karena umat manusia tersihir, melewati batas-batas keberagamaan, ras, suku dan jenis kelaminnya. Saking takutnya, menjadi agama baru, beberapa ulama keras Saudi Arabia, melarang warganya menonton sepakbola secara fanatik. Apalagi, setelah kesebelasan berbendera hijau dengan kalimat Allah dan pedang itu, cuma sampai babak penyisihan.
Bahkan Majelis Ulama Indonesia, sampai mengeluarkan fatwa, agar SMS berhadiah yang melebihi tarif normal, termasuk haram. Fatwa yang dikeluarkan menjelang piala dunia, diduga untuk menghambat para penikmat sepakbola. Padahal tampak di depan mata, fatwa itu impoten. Karena semua SMS berhadiah, yang marak pada saat putaran final piala dunia ini, semuanya dengan tarif melebihi tarif normal.
Harapan agar Suharto jangan mati dulu sebelum Piala Dunia 2006 berakhir, adalah alasan manusiawi. Sebuah harapan di tengah ketidakadilan, anarkisme kelompok, pengangguran, ketidaklulusan, bencana, kesulitan ekonomi dan kemiskinan. Namun, manusia hanya berusaha dan berdoa, tetapi ada kekuatan lain yang berkehendak. Viva Sepakbola. Adios
Ahmad Taufik, Jurnalis
Pendidikan Nasib
8 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar