Asy-Syura : Dari Tragis ke Tradisi
Tragedi pembantaian di Karbala 1366 tahun yang lalu diperingati di banyak tempat. Di Pariaman, Sumatera Barat peristiwa itu menjadi tradisi setiap tanggal 10 Murarram.
"Hoyak Hussein!….Hoyak Hussein!"teriakan massa begitu bertenaga. Dua puluh laki-laki mengangkat dua peti setinggi 12 meter diiringi tabuhan 12 gendang tasa, menambah semangat prosesi mengangkat tabuik.
Tabuik adalah peti di atas punggung patung kuda berkepala perempuan yang bersayap dan memiliki ekor, disebut buraq. Peti itu dihias indah dengan kain dan kertas warna-warni, di sisi kiri kanan hiasan kembang kertas, dan di puncaknya sebuah payung kertas. Semua patung ini terbuat dari rangka bambu, rotan, dan kayu. dan kertas warna-warni. Dari pusat kota ke pantai tabuik itu diarak. Kadang-kadang peti itu mesti direbahkan dan diseret menghindari lintangan kabel listrik dan telepon.
Acara arak-arakan itu berpuncak ketika kedua tabuik itu dilarung ke laut Samudra Hindia menjelang matahari terbenam. Berarti, peti jenazah Imam Hussein telah dibawa buraq terbang menuju surga.
Tabuik tak sekadar patung hiasan. Kedua Tabuik itu dibuat di kelurahan yang berbeda sejak satu Muharam atau 12 hari sebelum dilarungkan ke laut. Satu disebut Tabuik Pasa atau Tabut Pasar, lainnya Tabuik Subarang (Tabut Seberang). Pembuatannya diiringi dengan upacara ritual.
Ada tujuh prosesi pembuatan tabut yang dimulai satu hingga 10 Muharam. Acara diawali pengambilan tanah di sungai. Tanah itu diletakkan ke dalam periuk tanah, lalaga dan dibungkus dengan kain putih, kemudian disimpan di lalaga- sebuah wadah berukuran 3 X 3 meter yang dipagar dengan parupuk- sejenis bambu kecil. Tanah yang dibungkus kain putih adalah perumpamaan kuburan Hussein. Lalaga diatapi kain putih berbentuk kubah. Tanah akan dibiarkan sampai dimasukkan ke dalam tabuik pada 10 Muharam.
Pada 5 Muharam malam proses ritual menebas batang pisang, sekali tebas langsung rubuh. Ini perumpamaan keberanian Abi Kasim, putra Imam Hussein menuntut balas kematian bapaknya.
Prosesi dilanjutkan pada 7 dan 8 Muharam, disebut maatam dan maarak sorban. Maatam adalah personifikasi membawa jari-jari Imam Hussein yang berserakan ditebas pasukan Raja Yazid bin Muawiyah. Maarak sorban perumpamaan membawa bekas sorban Imam Hussein keliling kota menyiarkan kepada semua orang untuk mengingat keberanian Imam Hussein memerangi musuhnya. Itulah prosesi perayaan Asyura 10 Muharam di Kota Pariaman, Sumatera Barat, dua pekan lalu.
Festival Tabuik dibuka dengan aneka pertunjukan seni tradisional Pariaman indang, tari gelombang, pencak silat, dan tari Melayu. Acara dibuka Kepala Dinas Pariwisata Sumatera Barat Yulizar Baharin. Prosesi upacara tabuik seperti itu berlangsung setiap tahun sejak tahun 1831. Ritual Perayaan Asyura dibawa ke Pariaman oleh para pendatang asal Sepoy, India yang beragama Islam Syiah.
Waktu itu Pariaman merupakan kota pelabuhan terkemuka di pantai barat Sumatera. Para pendatang asal Sepoy itu sebelumnya adalah para prajurit Inggris asal India di bawah komando Thomas Stamford Rafles yang bermarkas di Bengkulu. Setelah Traktat London 17 Maret 1829 antara Inggris dan Belanda, wilayah pesisir barat Sumatera yang dikuasai Inggris diserahkan kepada Belanda dan sebagian prajurit Sepoy memilih tinggal di Pariaman. Merekalah yang menganjurkan diadakannya perayaan Asyura dengan membuat Tabuik untuk mengenang kematian cucu Nabi Muhammad SAW tersebut.
Penduduk Pariaman sendiri penganut Mahzab Syafi’i yang dibawa Syech Burhanuddin, seorang ulama penyebar Islam pertama di Sumatera Barat. Ulama itu mengajarkan agama dengan persuasif, toleran terhadap adat, serta melalui pendekatan kultural. Karena itu pula ritual tabuik bisa diterima.
Acara Asyura' diadakan di berbagai belahan dunia dengan berbagai ragamnya. Di Pakistan, Iran, Iran dan Afghanistan perayaan itu biasanya diiringi dengan cara menyambukkan kawat berduri sampai berdarah-darah dengan cambuk kawat. Di Indonesia diadakan di Cicalengka, Bandung, Surabaya dan Jakarta. Sabtu pekan lalu salah satu organisasi besar Islam di Indonesia Pemuda Muhamadiyah bersama Ahlul Bayt Jakarta mengadakan acara bersama di Senayan.
Menurut sejarawan Islam Syiah, Omar Hashem banyak terjadi pergeseran peringatan tragedi pembunuhan Imam Hussein dan pengikutnya itu. Disatu sisi peringatan itu menjadi sebuah festival bernuansa hura-hura, seperti yang diadakan di Bengkulu dan Pariaman. Di ekstrim lain, melebihkan-lebihkan peristiwa tersebut dengan cara sedih berkepanjangan. "Peringatan itu cukup membacakan kisahnya, bahwa pada masa itu terjadi kekejaman manusia yang berkuasa, Yazid kepada Hussein dan pengikutnya, yang mencoba mempertahankan kebenaran yang dibawa kakeknya, Rasulullah,"katanya.
Ahmad Taufik, Febrianti (Pariaman)
Pendidikan Nasib
8 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar