Baru setengah pengidap HIV yang mendapatkan pengobatan. Itulah yang terungkap dalam pertemuan delapan negara berpenduduk mayoritas muslim tentang penggunaan obat HIV/AIDS, antiretroviral, di Bogor dua pekan lalu. Padahal antiretroviral merupakan satu-satunya cara pengidap HIV positif untuk bertahan hidup.
-------
Tepat pukul sembilan pagi alarm telepon seluler berbunyi nyaring persis suara jam weker. Shanti Sardi buru-buru merogoh tas tangan. Perempuan 28 tahun itu mengambil kotak plastik kecil merah muda seukuran telapak tangan. Dari dalam kotak, perempuan kelahiran Riau itu mengambil tablet lonjong berwarna putih. Sesaat kemudian, lep…, butiran itu masuk mulut.
Alarm dari telepon selulernya kembali mengingatkannya untuk menelan pil kecil tersebut 12 jam kemudian. Demikian dia ulangi terus, sepanjang hari, seumur hidup. Ketepatan minum obat itu harus akurat persis timbangan emas. Sebab, pil yang bernama antiretroviral atau ARV itu hanya bisa berfungsi baik bila diminum reguler dan tepat waktu. Bila lupa atau bolong-bolong, bisa fatal akibatnya bagi penderita. “Pil ini seperti penyambung nyawa kami,” kata Shanti kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Shanti adalah salah satu pengidap human immunodeficiency virus (HIV) positif yang memberikan testimoni dalam seminar tentang pemberdayaan orang yang hidup dengan HIV dua pekan lalu. Pesertanya perwakilan dari delapan negara berpenduduk mayoritas muslim, yakni Indonesia, Malaysia, Bangladesh, Pakistan, Turki, Iran, Nigeria, dan Mesir. Kesamaan negara-negara tersebut adalah masih kecilnya penggunaan antiretroviral bagi pengidap HIV.
Shanti pun menceritakan kisah hidupnya dengan terbuka. Dia tertular virus itu dari suaminya. Tiga tahun silam, suami Shanti terserang panas tinggi, lalu tak sadarkan diri. Sang suami pun dirawat di rumah sakit di Kepulauan Riau. Dokter di sana mendeteksi suaminya terkena toksoplasma, penyakit yang diakibatkan parasit Toxoplasma gondii. Parasit ini dapat ditularkan oleh semua jenis satwa, seperti kucing, burung, ikan, kelinci, anjing, babi, dan kambing. Selain itu, parasit ini terdapat pada daging dan telur setengah matang serta buah atau sayuran yang tercemar tinja hewan. “Dokter saraf bilang dia mungkin sudah mengidap HIV,” kata Shanti.
Perkiraan dokter ternyata benar. Suami Shanti tertular virus “pembantai” imunitas tubuh tersebut. Dokter pun meminta Shanti, yang saat itu tengah mengandung anak kedua, agar diperiksa. Benar. Shanti pun sudah tertular virus itu. “Rasanya mau kiamat, putus asa, karena yang saya tahu penyakit itu mematikan dan tak ada obatnya,” katanya berkisah.
Beruntung, Shanti bertemu dengan Koordinator Layanan HIV/AIDS Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Profesor Samsuridjal Djauzi. Setelah diperiksa, Shanti, yang saat itu hamil empat bulan, masuk tahap konseling program pencegahan untuk ibu hamil, yang disebut prevention of mother-to-child HIV transmission. Sejak masuk program tersebut, Shanti memperoleh terapi antiretroviral. Ia pun meminum obat itu dua kali, pagi dan malam.
Semula, bayinya diperkirakan lahir pada September dengan cara operasi caesar. Tapi, karena ia minum obat tersebut, sang bayi lahir prematur akhir Juni secara normal. Pekan ini, bayi perempuan yang lahir sehat itu--tak terinfeksi HIV--berusia tiga tahun. Shanti pun makin bersemangat menjaga kesehatan. “Sampai kini, sudah tiga tahun lebih saya hidup normal,” katanya.
Itu berbeda dengan suaminya. Sejak mereka bercerai, sang suami tak minum obat teratur, hingga meninggal setahun lalu, akibat toksoplasma yang makin ganas. “Dulu saya yang mengingatkan dan minum obat sama-sama. Sejak berpisah, ia ceroboh, bolong-bolong minum obatnya,” katanya. Padahal ia sudah sempat sehat dan kembali bekerja.
Kesetiaan pengidap HIV pada antiretroviral memang harus sangat tinggi. “Tak boleh putus di tengah jalan,” kata ahli HIV/AIDS, Profesor Zubairi Zoerban. Antiretroviral itu berguna menghambat perkembangbiakan sekaligus menurunkan jumlah virus, sehingga kekebalan tubuh pun meningkat. “Antiretroviral amat bermanfaat menekan angka kesakitan dan kematian akibat HIV/AIDS,” kata Zubairi.
Infeksi oportunistik seperti toksoplasma, tuberkulosis, hepatitis C, dan herpes bisa dicegah. Maklum, pengidap HIV tidak punya daya tahan sama sekali bila diserang infeksi, sekecil apa pun. Menurut Wakil Ketua Yayasan Pelita Ilmu, Hussein al-Habsyi, antiretroviral mengubah HIV dari mematikan menjadi bisa dikendalikan.
Antiretroviral sendiri ditemukan di Brasil pada 1993. Sebelum penemuan itu, hanya 25 persen orang yang terinfeksi HIV mampu bertahan hingga lima tahun setelah dinyatakan positif mengidap HIV. Namun, sejak antiretroviral digunakan pada 1993-1994, tercatat 47 persen penderita bisa hidup normal lebih panjang.
Di Indonesia, antiretroviral paten impor mulai masuk pada 1996. Obat tersebut dijual Rp 8,5 juta untuk kebutuhan sebulan. Lima tahun kemudian, masuk antiretroviral impor generik dari India dengan harga Rp 850 ribu. Sejak 2003, yang generik mulai diproduksi PT Kimia Farma. Harganya Rp 380 ribu untuk kebutuhan sebulan. Setahun kemudian, pemerintah mulai memberikan subsidi untuk pembelian antiretroviral. Bahkan, menurut Zubairi, pemerintah juga memberikannya gratis kepada pengidap HIV melalui 257 rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat rujukan di seluruh Indonesia.
Menurut data terakhir Departemen Kesehatan, lebih dari 200 ribu orang Indonesia rawan tertular HIV. Yang dimaksud kelompok rawan antara lain orang yang menggunakan narkotik melalui alat suntik atau berhubungan seks secara tidak aman. Sedangkan yang terinfeksi HIV/AIDS berjumlah sekitar 20 ribu orang. Tapi hanya separuhnya yang sudah mendapat antiretroviral.
Kecilnya penggunaan antiretroviral juga tampak pada negara-negara peserta seminar. Menurut laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO), hanya tiga juta pengidap HIV di delapan negara itu yang memperoleh antiretroviral. Sedangkan sekitar 6,7 juta orang penderita lainnya belum terjangkau obat itu. Padahal di negara-negara Eropa Barat sudah sekitar 90 persen pengidap HIV mendapat pengobatan antiretroviral. Untuk itulah lembaga seperti Yayasan Pelita Ilmu, selain bergerak di bidang pendampingan untuk penderita HIV/AIDS, juga memperjuangkan perluasan penggunaan antiretroviral.
Shanti, yang juga aktif di Yayasan Pelita Ilmu sebagai Koordinator Ikatan Perempuan Positif (HIV/AIDS) Indonesia, tak lelah berbagi pengalaman soal antiretroviral. “Saya berharap bisa mendorong mereka tetap bersemangat dan hidup optimistis,” katanya. Bahkan ibu dari dua anak itu telah menikah lagi dengan laki-laki penderita HIV/AIDS. Yang penting, kata dia, keduanya tak putus menggunakan antiretroviral dan menerapkan pola hidup sehat dengan makan makanan bergizi.
Ahmad Taufik
INFOGRAFIS
Manfaat ARV
- Mengurangi angka kesakitan dan kematian
- Menurunkan jumlah virus
- Meningkatkan kekebalan tubuh
- Mengurangi risiko penularan
Tip Tetap Sehat dengan HIV
- Semangat dan disiplin.
- Jika memungkinkan, ada PMO (pengawas minum obat).
- Antiretroviral diminum pada waktu yang sama setiap hari.
- Harus selalu tersedia antiretroviral di mana pun penderita berada.
- Bawa obat ke mana pun pergi.
- Pergunakan peralatan (jam, telepon seluler) yang bisa menjadi alarm (pengingat waktu) yang dapat diatur pada setiap waktu minum obat.
- Pengobatan lain yang tak kalah penting adalah pengobatan suportif, seperti pengaturan diet, istirahat, olahraga, pengobatan psikologis, serta pendekatan keagamaan/spiritual. Kondisi psikologis yang terjaga baik akan membentuk sikap positif dan selalu berjiwa optimistis.
(dimuat majalah Tempo, edisi 23-29 Juni 2008)
Pendidikan Nasib
8 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar