Jumat, Oktober 17, 2008

10 Tahun Tempo Kembali : Diaspora, Bertahan Melawan Rayuan Rezim

Diaspora, Bertahan Melawan Rayuan Rezim

Selasa, 21 Juni 1994, menjadi hari kiamat bagi sebagian awak Majalah Tempo. Tak terbayangkan tempat mencari nafkah tiba-tiba diputus mendadak oleh pemerintah. Padahal, pemerintah saja belum sanggup mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran yang semakin hari semakin tinggi. “Saya sedih sekali, saya menangis di rumah. Saya merasa sia-sia, seolah perjuangan kami menaikkan martabat bangsa tidak dihargai pemerintah,”ujar Yuli Ismartono. Saat Tempo dibredel wartawati perang itu menjabat koordinator liputan luar negeri.

Usaha Tim tiga dan Tim lima yang dibentuk direksi dan karyawan untuk mencari penerbitan baru pengganti wadah mengais rejeki, tak menampakkan hasil yang memuaskan. Pemerintah melalui Departemen Penerangan yang dipimpin Menteri Harmoko, masih marah. Karena awak Tempo beserta elemen masyarakat lainnya turun ke jalan memprotes pembungkaman itu. “Memang, begitu dibredel, kami melawan,”kata Toriq Hadad, Kepala Biro Jakarta waktu itu.

Politik penjajah, divide et impera, pecah belah pun menjadi taktik. Tim 3 yang beranggota direksi ; Mahtoem, Heri Komar, dan Lukman Setiawan didekati konglomerat kolega Cendana, Bob Hasan membuat majalah “pengganti”, Gatra. Bob yang sudah “membina” sejumlah awak Tempo, menjiplak abis perwajahan majalah berita mingguan nomor wahid di Indonesia zaman itu. Termasuk “merampok” karyawan dan beberapa aset lainnya. “Teman-teman yang sudah di sana duluan, nge-move, saya nggak tahu motivasinya, uang atau entah apa?. Gak semua orang Tempo bisa masuk, tapi dilitsus. Yang di-blacklist adalah teman-teman penandatangan Deklarasi Sirnagalih dan yang terlibat peristiwa Bandung,”kata Moebanoe Moera.

Deaklarasi Sirnagalih 7 Agustus 1994 adalah pendirian Aliansi Jurnalis Independen (AJI), tandingan organisasi wartawan buatan pemerintah Persatuan wartawan Indonesia (PWI), sedangkan Peristiwa Bandung yang disebut Kang Banoe itu terjadi selepas Tempo dibredel. Pasukan Kantor Biro Tempo di Bandung, mengibarkan bendera hitam setengah tiang, tanda berkabung. Kebetulan Soeharto berkunjung ke kota kembang, meresmikan proyek pesawat Tetuko di IPTN. Mobil rombongan pemimpin rezim orde baru itu melewati kantor biro Tempo di Jalan Pasteur, waktu itu Kepala bironya Happy Sulistyadi. “Ributlah intel-intel dan pihak berwajib di Bandung, Happy pun sempat diperiksa Bakorstanasda Jawa Barat,” ujar Banoe.

Dua direksi yang disebut dukuan sekarang sudah almarhum, menjadi pemimpin tertinggi di perahu baru buatam rezim Suharto itu. Tapi tak semua orang bisa dibeli. “Buat apa bergabung dengan Gatra, banyak yang bisa kita lakukan di luar ; bikin buku atau apa saja,”kata Liston P. Siregar, seperti ditirukan Tri Watno Widodo, bagian pra cetak Tempo.

Tri dan teman-teman lain yang menolak bergabung dengan raja perambah hutan lebih baik hidup berserakan. “Kami tak mau hidup di atas penderitaan orang lain, dan tunduk pada penindasan,”ujar lelaki yang bergabung di Tempo sejak 1983. Bagai air mengalir, semua orang bergerak mencari penghidupan, sesuai pergaulan masing-masing. “Di masa pembredelan itu, kita bergerak sendiri-sendiri,”ujar Yusril Djalinus. Menurut Andi Reza Rohadian yang kini bekerja di Majalah Trust, pasca dibredel, Goenawan Mohamad (GM) menyediakan sekoci-sekoci. “Ada yang ke Swa, Forum, bahkan ke majalah Medika,” katanya.

Dua kelompok besar membagi bekas Tempo. Pertama, gerombolan X-T (eks Tempo) dipimpin R Ahmed Kurnia Soeriawidjaja alias Utun bersama Rudi P. Singgih, menggarap Koran milik TNI AD, Jayakarta, lalu Sinar Pagi Minggu, lembaran kriminal di Media Indonesia yang terbit tiap Rabu, Delik sampai Majalah Pilar yang bermarkas di sebuah bedeng di kawasan Sudirman Central Bisnis Distrik, Jakarta Selatan, milik Artha Graha.

Gerombolan kedua berkumpul di Tebet Timur Dalam, bergabung dalam PT. Reksa Mitra Berjaya (RMB). Disanalah bercokol Sri Malela Mahargasarie, Ivan Haris Prikurnia dan kawan-kawan. “Tebet itu awalnya tempat pengungsian, lebih dari 100 orang Tempo, yang nggak mau ke Gatra atau nggak punya pilihan lain karena masalah umur dan skill. Tebet menjadi rumah idealisme kami. Dalam perjalanannya, ternyata menjadi rumah bisnis yang menjanjikan,”ujar Banoe. Bagi bekas disainer grafis Tempo Mulyawan, Tebet seperti Tempo adalah sebuah padepokan dunia persilatan, “ada pendidikan, pelatihan, dan juga penghianatan.”

Dari Tebet menggarap sejumlah proyek antara lain Media Indonesia edisi Minggu, konsultan in house magazine, percetakan buku dan rencana menerbitkan majalah, sebagai core bisnis. Menurut Bambang Aji, dalam setahun, omset yang diraup Tebet sekitar Rp 1 miliar. Antara lain dari kontrak mengelola Media Indonesia Minggu sekitar Rp 65-70 juta sebulan. “Saya appreciate sekali sama Surya Paloh saat itu berani melawan Departemen Penerangan dengan mempekerjakan para eks Tempo,” kata Malela. Bahkan Media Indonesia sempat mendapat teguran dari orde baru, karena menulis dengan keras menjelang ulang tahun Soeharto.

Proyek-proyek lain seperti media internal perusahaan, Majalah Arwana, laporan keuangan perusahaan, promo kit, sablon kaus, sampai membuatkan makalah jenderal-jenderal di Lemhanas. “Gaji kami dikumpulin, termasuk sumbangan dari teman-teman yang bekerja di Neraca dan Forum, lalu dibagi rata,”ujar Banoe.

Remahan lain, selain dua besar itu memang Harian Neraca dan Majalah Forum. Toriq bersama Isma Sawitri, Liston, Dwi Setyo Irawanto alias Siba dan Muhammad Cholid. Harian milik Sekretaris Jenderal PWI, almarhum Zulharmans. Nyonya Zulharman yang memimpin koran ekonomi itu, menerima para eks Tempo dengan sistem kontrak per enam bulan. “Kami mengisi halaman satu, penilaiannya bagus. Memang, disitulah kembali menjadi reporter dan menulis sendiri. Tulisan diedit oleh Mbak Isma,”ujar Toriq.

Namun, belakangan setelah 13 orang eks Tempo keanggotaannya di PWI dicabut, Ibu Zulharmans juga ditekan PWI dan Departemen Penerangan untuk memecat dan tidak memperkerjakan orang-orang eks Tempo. Setiap rapat Ny. Zulharman disinggung, dan sehingga pada kontrak enam kedua tak diperpanjang. “Saya termasuk yang dipanggil langsung oleh ibu Zulharmans menceritakan mengenai tekanan itu. Tapi dari Neraca, hingga kini kami mendapat hubungan baik dengan pemrednya Masmiar Mangiang,”katanya.

Kekejaman PWI dan Deppen mengusik hak hidup orang memang keterlaluan. Seorang kawan eks Tempo yang tak lagi bergelut di dunia jurnalistik, tapi di bursa saham, juga diusulkan dipecat dari tempat kerjanya. “Rezim orde baru memang sejak awal nggak suka dengan semua yang tidak tunduk,”ujar disainer grafis Susthanto, yang masuk Tempo sejak 1985. Banyak perusahaan menolak berkonsultasi dengan PT.RMB ketika mengetahui karyawannya adalah para eks tempo. “Bukopin, pernah hampir kontrak, tapi batal ketika tahu kami bekas Tempo,” kata Malela. Tapi seperti, kata GM, “gak ikut tunduk, ga patheken!”

Sikap tak mengenal menyerah membuat orang Tempo bisa hidup menyebar kemana-mana. Selain Majalah Forum, Matra, D&R, Tabloid Kontan, ada yang ke TV 3 Malaysia, BBC London, SCTV, koresponden Jawa Pos di Los Angeles, Filipina dan Australia. “Yang penting pergaulan,”ujar Bandowo, 63 tahun, bagian “super” umum di Tempo yang bisa mengerjakan apa saja serta ikut menolak tunduk dalam tekanan.

Agar Tempo tetap dikenang saat tiada, Yusril Djalinus, Toriq Hadad, Saiful Ridwan, GM dan rekan-rekan dari Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang bermarkas di Utan Kayu 68 H, merintis situs berita berbahasa Indonesia pertama, Tempo Interaktif. Di gedung tempat kursus bahasa Inggris di Jalan Proklamasi 72, Jakarta Pusat, Toriq membuat pasukan terdiri dari lima mahasiswa dan seorang wartawati Bernas Yogyakarta, Purwani Diyah Prabandari, kini Kepala Biro Tempo di Yogyakarta. Belakangan Bambang Budjono alias Bambu, Wahyu Muryadi yang ada di Forum, dan disainer grafis Gilang Rahadian alias Ugi datang bergabung. Selain terbit di dunia maya, Tempo Interaktif diterbitkan cetak, berbentuk jurnal. Untuk praktisnya, satu cerita utama lainnya wawancara. “Maklum kami memperkerjakan mahasiswa,”ujar Toriq.

Kamis, 21 Mei 1998, Suharto menyatakan mengundurkan diri, setelah huru hara politik dan ekonomi melanda negeri. Peringatan empat tahun pembredelan Tempo 21 Juni 1998, tak lagi cerita tentang kisah duka, tapi sebuncah harapan untuk bisa terbit kembali. “Saya percaya setelah Tempo dibredel itulah beginning of the end dari Suharto,” ujar Yuli Ismartono.

Zulkifli Lubis dan Sekretaris Direksi Nike Rorimpandey mengundang rekan-rekan eks Tempo yang tak bergabung ke Majalah Gatra di Teater Utan Kayu. Dari sanalah dicari kesepakatan untuk menerbitkan kembali Tempo. Sebelumnya Menteri Penerangan Kabinet Presiden B.J.Habibie, Yunus Yosfiah, bertemu dengan eks petinggi Tempo untuk mengembalikan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Tempo yang pernah “dirampas” Menteri Penerangan Harmoko.

Pendapat karyawan bekas Tempo terbelah. Yang sudah mapan di tempatnya saat itu, tak menginginkan Tempo terbit lagi. “Sudah-lah biarkan Tempo jadi legenda,”ujar pihak yang tak setuju Tempo terbit kembali dengan berbagai alasan. Ada yang sudah terikat janji di tempat, seperti Kontan. “Secara moral nggak enak juga untuk meninggalkan Kontan. Kalau semua orang Kontan pergi, bagaimana? Kami merasa hutang budi juga sama Jakob Oetama,”kata Susthanto. Ivan Haris yang sudah asyik di Majalah Forum juga tak setuju. “ Lebih baik Tempo menjadi monumen perjuangan melawan orde baru. Kalau mau, bikin nama baru, jangan Tempo,” katanya.

Begitu juga teman-teman yang merasa sudah firm dengan majalah yang tengah meroket saat itu D&R, pimpinan Bambu. Walaupun Bambu sendiri setuju Tempo terbit kembali. “Tempo harus terbit kembali untuk memberikan berita yang bisa dipercaya masyarakat d itengah banyaknya media-media berita dengan berjuta kepentingan,”katanya. Bambu sendiri tak bergabung ke Tempo, karena bertanggung jawab memimpin Majalah D&R sampai tutup setahun kemudian.

GM, sebenarnya juga termasuk orang yang ragu Tempo terbit kembali, apalagi pake SIUPP segala. “Sebetulnya, ada dilema ketika mau terbit kembali. Kami sudah sepakat dengan AJI, bahwa Tempo kalau terbit lagi tidak usah pakai SIUPP. Tapi, waktu itu kondisi belum memungkinkan. Teman-teman AJI sempat protes, mereka bahkan sempat berniat menggugat Tempo. Tapi, kami putuskan terus terbit,”ujarnya.

GM mendengar suara arus bawah, yang ingin Tempo kembali hadir di tengah-tengah bangsa Indonesia yang sedang mengalami perubahan. Soleh, staf pelayanan perpustakaan misalnya, berjanji akan menyembelih kambing kalau sampai Tempo terbit lagi. “Masak orang kecil saja berani. Kami malah takut,”ujar pemimpin redaksi Tempo.

Pegawai lainnya, Tri Watno bahkan siap menerbitkan Tempo dalam bentuk foto copy, Jika tak ada yang berani menerbitkan Majalah Tempo kembali. “Dari pada diterbitkan orang lain yang tak punya tanggung jawab moral, mending kami bekas Tempo yang nerbitin lagi,”ujarnya kepada penulis waktu itu.

Mulyawan, termasuk orang bekas Tempo yang tak punya sikap. “Terbit lagi syukur, tidak juga tidak apa-apa. Saya memutuskan untuk tetap di Forum saja ketika Tempo menawarkan bergabung lagi,”ujarnya. Mulyawan yang kini bekerja sebagai disainer grafis Majalah Trust berharap bekas Menteri Penerangan Harmoko besok masih bisa membaca kecap dapur Tempo ini. “ Jadi dia bisa tahu. Orang-orang eks Tempo yang menjadi orang hebat di dunia media Indonesia. Kita sebagai orang eks Tempo masih memiliki kebanggaan,”katanya. Bravo.

--original version--edisi edit dimuat Majalah Tempo 20-27 Oktober

Tidak ada komentar: