Vokalis jazz Al Jarreau berkolaborasi dengan gitaris jazz yang lebih dikenal sebagai pelantun lagu romantis, George Benson. Penonton serasa ikut tampil bersama mereka.
***
“Jakartaa…, Indoooooonesiaaaa.” Dua kata ini menyelip dalam scat singing--improvisasi vokal menirukan suara instrumen musik--khas Al Jarreau, yang meluncur dalam jeda dan diikuti penonton. Terdengar gemuruh tawa. Penyanyi kelahiran Wisconsin, Amerika Serikat, 68 tahun lalu itu juga ikut terbahak.
Bunyi-bunyian dan kata-kata di mulut Jarreau memang menjadi ornamen yang memikat. Di telinga terdengar ritmis dan harmonis. Dari olah vokal Jarreau, jazz seolah kembali ke sejarah awal kemunculannya, dari kaum budak asal Afrika yang bekerja di Amerika pada abad ke-19. Waktu itu musik masih merupakan sarana untuk mengadu, mengeluh, dan membicarakan nasib, sekaligus menghibur diri dalam impitan kehidupan. Berbeda dengan masa kini--ketika jazz sering diposisikan sebagai musik kaum kelas atas.
Bukan hanya ceracau dan tiruan bunyi alat musik, jari-jari Jarreau begitu dinamis, tak bisa diam. Kadang dia seperti memegang grip di gagang gitar--jemarinya seolah “mengeritingkan” dawai. Panggung yang minim dekorasi menjadi hidup. Tapi tentu saja panggung bisa menjadi apa pun, sebab dia adalah legenda. Dia telah menyabet tujuh penghargaan Grammy dalam periode empat dasawarsa, di kategori jazz, R&B, dan pop (dia satu-satunya penyanyi pria yang berhasil merajai tiga kategori yang berbeda ini).
Pertunjukan seusai salat tarawih di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu dua pekan silam itu dibuka dengan Breezin’. Nomor legendaris George Benson, remake dari karya Bobby Womack, ini merupakan lagu pertama dalam album kolaborasi Jarreau dan Benson, Givin’ It Up. Jarreau dengan piawai “memverbalkan” Breezin’, sedangkan Benson merenyahkannya dengan petikan dawai Ibanez hollow body-nya yang memang terdengar empuk, dan sesekali menambahi dengan vokalnya.
Usai satu lagu, Benson mundur ke belakang panggung, scat singing Jarreau makin hidup dengan Your Song, We’re in This Love Together, Cold Luck, Mornin’, Take Five, Midnight Sun, dan medley cantik “campursari” Agua de Beber serta Mas Que Nada.
Benson muncul lagi, bersanding dengan Jarreau, melantunkan Long Come Tutu. Lagu ini dipersembahkan untuk uskup penggerak perdamaian asal Afrika Selatan, Desmon Tutu.
Lalu panggung berganti pemilik. Kali ini Benson melantunkan lagu-lagu cinta yang akrab di telinga penonton, seperti Nothing’s Gonna Change My Love for You, In Your Eyes, dan The Greatest Love of All. Tampak semua penonton berdiri mengikuti musisi kelahiran Pittsburgh, Amerika Serikat, 65 tahun silam itu. Mereka seperti melebur bersama musik yang dimainkan. Mungkin mereka punya perasaan serupa: kenangan dimabuk cinta pada 1980-an. Ya, siapa yang tidak kenal--meski boleh juga tak suka--dengan lagu-lagu cinta abadi itu.
Tak sekadar menyanyi, setelah membawakan In Your Eyes, Benson bercerita. Dia bertemu seorang perempuan di bar hotel tempatnya menginap. Dia masuk ke bar, namun tak ada yang mengenalnya. “Lalu saya menyanyikan sepotong bait In Your Eyes. Perempuan itu langsung menyahut, ‘O, ya, malam ini George Benson tampil.’ Ternyata orang lebih kenal lalu-lagu saya daripada orangnya, ha-ha-ha...,” katanya.
Kolaborasi Jarreau dan Benson makin seru di tiga lagu terakhir. Seolah ada interaksi tiga pihak: musisi, musik, dan penonton. Masing-masing punya improvisasi sendiri, namun terasa padu.
Penampilan mereka berdua di Jakarta--yang diselenggarakan oleh promotor Buena Production--merupakan persinggahan terakhir di Asia untuk mempromosikan album Givin’ It Up, yang dirilis pada 2006. Sebelumnya mereka tampil di Seoul, Manila, Beijing, Shanghai, Hong Kong, dan Bangkok. Secara terpisah, baik Jarreau maupun Benson sudah pernah menggelar pertunjukan di Jakarta.
Pertunjukan kolaborasi mereka memang menghibur, meski ada yang menganggap kurang maksimal, atau ada yang menilai duet yang sedikit dipaksakan. Bagaimanapun, Jarreau dan Benson adalah kolaborasi manis sekaligus bernilai komersial, setelah karier mereka melampaui puncak. Musik pop dengan sentuhan jazz yang mereka sajikan cocok untuk pasar “dewasa kontemporer”.
Dan penonton pun tak beranjak sampai pertunjukan benar-benar usai, saat Every Time You Go Away, karya Daryl Hall yang sempat dipopulerkan oleh Paul Young, berkumandang: Every time you go away/You take a piece of me with you....
Ahmad Taufik
(dimuat di MBM Tempo 22-28 September 2008)
Pendidikan Nasib
8 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar