Rabu, Maret 05, 2008

Revolusi Iran Bukan untuk Diekspor

wawancara dengan
Ayatullah Murtadha Muqtadai:

Berjubah hitam dengan sorban putih, Ayatullah Murtadha Muqtadai, 71 tahun, tampak masih gagah. Di dua tangannya melingkar tiga buah cincin batu, satu di jari manis kanan dan dua lagi di tangan kiri. Kunjungan Ketua Yayasan Jahani (Dunia Islam) untuk urusan pelajar-pelajar asing di Qom, asal Isfahan, Iran, itu ke Indonesia mengingatkan lulusan madrasah di Qom agar berbuat nyata lebih banyak dalam kehidupan masyarakat.
Murid tiga ulama besar Iran itu--Ayatullah Borujerdi, Ayatullah Imam Khomeini, dan Allamah Thabathabai--berharap lulusan Qom yang biasa mengajari masyarakat sesuai perbuatannya dengan yang diceramahkan di atas mimbar. “Jika tidak, kewibawaan akan hancur dan rakyat tak akan mempercayainya. Ini akan berakibat terhadap perkembangan agama Islam,” katanya.
Putra Ayatullah Syekh Mahmud Muqtadai ini termasuk dalam lima orang yang dipercaya Imam Khomeini menyusun draf UUD. Selain sebagai koordinator hakim dalam Mahkamah Agung Iran, Ayatullah Muqtadai kini menjadi anggota dewan pakar yang memantau tindak-tanduk pengganti Khomeini, pemimpin besar (Rahbar) Ayatullah Ali Khamenei.
Inilah kutipan sebagian wawancara Tempo dan beberapa wartawan lain dengan Ayatullah Murtadha Muqtadai seputar pendidikan pelajar-pelajar Indonesia di Qom, dibantu oleh penerjemah bahasa Persia dari Pusat Kebudayaan Islam (ICC) Jakarta, Abdullah Beik.

Bagaimana pendapat Anda tentang orang-orang Indonesia yang belajar agama di Qom?
Mereka yang menuntut ilmu agama di Kota Qom, baik yang membawa ijazah resmi yang dapat diterima maupun yang tidak di negaranya, setidaknya adalah orang yang akan memberikan kontribusinya kepada umat manusia di bidang keilmuan dan budaya, baik di kampus maupun tempat lain. Nah, itu sangat membantu mencerdaskan masyarakat Indonesia.

Bagaimana dengan kualitasnya?
Selama ini baik. Tapi harapan kami jauh lebih besar dari itu. Kalau mereka dapat belajar lebih giat lagi, dan lama tinggal di Iran, bisa menjadi seorang alim (ulama) yang sempurna dan bisa mengajarkan kepada rakyat Indonesia. Itu akan lebih baik lagi. (Ayatullah Murtadha berharap pelajar-pelajar Indonesia yang sudah pernah belajar di Qom kembali ke hauzah/madrasah di sana meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi).

Apakah Anda berharap ada seorang fakih dari Indonesia yang memang bisa mengerti persoalan-persoalan khas Indonesia?
Soal ulama atau fakih tidak ada hubungannya dengan orang Indonesia, Iran, Afrika, India, atau negara lain. Tapi di Indonesia, sama seperti di bidang lain, jika ada seorang profesor di bidang keilmuan lain, tentunya bagus. Begitu juga jika ada seorang fakih di Indonesia, itu bagus sekali.

Ketika orang-orang Indonesia pertama kali belajar di Qom atau Iran, itu karena adanya semangat revolusi Islam Iran. Lalu ada suatu ketakutan akan ada ekspor revolusi ke negara-negara lain, apa benar begitu?
Imam Khomeini (almarhum), saat melakukan revolusi, tak punya tujuan untuk mengekspornya. Tujuan revolusi adalah menyelamatkan rakyat Iran dari kungkungan hegemoni kekuasaan adidaya dan kapitalisme internasional. Seluruh kekayaan Iran berada di tangan mereka dan Iran tak bisa berbuat apa-apa. Revolusi adalah usaha Iran untuk melepaskan diri dari hegemoni tersebut dan alhamdulillah telah berhasil. Dengan keberhasilan itulah nama Iran naik di dunia internasional dan dunia Islam.
Karena itulah ada kesempatan bagi banyak warga negara lain untuk datang dan belajar di Iran. Tapi yang dipelajari selama ini adalah keilmuan dan budaya. Sehingga, saat mereka pulang membawa ilmu untuk masyarakat, tak ada hubungannya lagi dengan kegiatan politik. Mudah-mudahan itu bermanfaat bagi tempatnya masing-masing, sesuai dengan yang mereka butuhkan.

Apakah saran Anda terhadap pelajar Indonesia yang masih obsesif terhadap revolusi Islam?
Imam Khomeini dengan revolusinya berharap terjadinya persatuan kaum muslimin di seluruh dunia. Impian beliau, kaum muslimin bersatu membantu satu sama yang lain, berdasarkan kecintaan dan kesatuan hati. Jangan terpecah belah berebut lapak dakwah.

Tidak ada komentar: