Rabu, Maret 05, 2008

Panggung Magis Ciptaan Bjork

Konser Bjork di Jakarta memukau. Meski aneh, penampilan dan vokalnya terasa mistis, sekaligus memikat.


Lapangan di gedung Tennis Indoor, Gelora Bung Karno, Jakarta Selatan, tiba-tiba seperti menghamparkan ritual voodoo. Pemimpin upacara magis kuno yang berakar di Afrika itu adalah penyanyi asal Islandia, Bjork Gudsmundottir.

Perempuan 42 tahun itu berdiri di pusat panggung, mengenakan busana jingga bercampur putih dengan gelombang lebar di dua sisinya, persis suwir-suwir sirip ikan maskoki. Dia dikelilingi sepuluh pemain instrumen musik tiup berbagai ukuran, masing-masing membawa bendera merah di punggungnya, seperti pasukan berkuda dari Wales. Para pembawa bendera ini menari dengan gerakan seperti tak beraturan, mengikuti “perintah” sang pemimpin, yang mengeluarkan suara melengking tapi seirama dengan nada-nada aneh. Mirip rapalan mantra primitif.

Upacara itu mencapai klimaksnya ketika guntingan kertas warna-warni, asap kabut, dan sinar laser menghujani penonton. Musik berirama cepat. Bjork merampungkan nyanyian--dan perannya dalam--Declare Independence, lagu dari album terakhirnya, Volta (2007). Lagu ke-19 ini sekaligus menutup konser Bjork the Volta Tour di Jakarta, Selasa pekan lalu. Selama sekitar 90 menit, Bjork memukau lebih dari 3.000 penonton. Seperti di album-albumnya, dia bukan hanya menyanyi; dia berbisik, melolong, menjerit. Suaranya juga kerap mengeluarkan bunyi-bunyian primitif khas aneka perkusi. Dan seperti berbagai klip videonya, aksi panggungnya sarat aksi teatrikal. Semua dikemas menjadi pertunjukan yang aneh, tapi memukau. Pokoknya: Bjork banget.

Bjork adalah fenomena multitafsir. Seorang penonton bilang, “Memang ini musik orang sakit jiwa.” Andi, vokalis band /rif yang sengaja datang dari Bandung, menyebut musik Bjork sebagai etnik modern, campur jazz, tradisional, rock, brutal heavy metal, dan techno. Boleh juga ditambahkan beberapa genre lagi, seperti elektronik, ambient, eksperimental. Terserah. Toh, musik perempuan yang sudah 13 kali menjadi nomine Grammy Award itu memang biasa dimasukkan ke kategori berbeda-beda. Tidak seperti Celine Dion, misalnya, yang pasti masuk kategori pop. Atau Norah Jones, yang setidaknya bisa ke golongan jazz.

Atmosfer pertunjukan Bjork bisa bergerak dari keheningan di altar gereja hingga konser panas dan berkeringat di malam hari, atau gairah ajip-ajip di ruang “dugem” (dunia gemerlap hiburan malam). Walau dengan gerakan yang itu-itu saja: tangan seperti mengiris-iris atau meliuk-liuk, entakan kaki dan goyangan kepala, Bjork, ajaibnya, bisa bergerak harmonis mengikuti bunyi-bunyi yang sepertinya musykil untuk diikuti dengan gerakan.

Selain musiknya, bagaimanapun, Bjork adalah tontonan. Panggungnya ditata apik. Di belakang tampak umbul-umbul merah kuning bergambar burung, katak, ikan, dan kadal. Di bagian tengah ada pemain alat musik tiup serta peralatan musik elektronik. Di depan terkembang tiga layar televisi besar. Di layar inilah sesekali dipertontonkan jari-jemari pemain band yang sibuk menyentuh-nyentuh antarmuka alat musik elektronik, yang berfungsi mirip turntable di diskotek-diskotek tapi bisa menghasilkan aneka bunyi, dari yang primitif hingga modern dan futuristik.

Harap maklum dengan semua itu. Selama 31 tahun bermusik, Bjork memang besar dari aksi panggung ketimbang rekaman. “Kalau sedang pengambilan gambar untuk klip, yang saya bayangkan juga saat saya beraksi di panggung,” katanya.

Menurut Adrie Subono dari Java Musikindo, promotor yang mendatangkan Bjork, ada 15 ton peralatan yang dibawa Bjork untuk sekali pertunjukan di Jakarta. “Ini peralatan terberat selama saya mendatangkan grup-grup musik asing ke Indonesia,” katanya. My Chemical Romance, yang baru bulan lalu tampil di sini, cuma membawa peralatan seberat lima ton.

Dalam wawancara dengan media Australia, Bjork mengatakan ingin pertunjukannya dalam rangkaian tur Volta “seperti orkes simfoni di dalam ruangan, tapi dengan suasana ritual primitif di alam terbuka”. Dia--yang selalu menjawab pertanyaan dengan ungkapan-ungkapan tidak biasa--menganggap turnya kali ini sebagai yang “paling kelaki-lakian”. “Primitif, kasar, dan sangar,” katanya. Barangkali dia ingin berekspresi habis-habisan. Sebab, rencananya, setelah tur kali ini, dia memutuskan untuk menyepi dalam waktu lama. Dia punya alasan. Anak keduanya, Isadora Bjarkardottir Barney, yang lahir dari hubungannya dengan Matthew Barney, akan memasuki usia sekolah. Dia akan berkonsentrasi mendampingi Isadora.

Bjork tak pernah menutupi berbagai penafsiran terhadap dirinya, juga karyanya. Dia memang punya wajah beragam. Dia mengenakan gaun seperti angsa ketika menghadiri upacara penyerahan piala Oscar. Dalam album Medulla, yang ada hanya suaranya, tanpa musik. Dia juga bermain dalam beberapa film, di antaranya Dancer in the Dark, yang disutradarai Lars von Trier. Beberapa kali memukul wartawan, tapi dia juga mengunjungi korban tsunami di Aceh pada 2006. Dia pernah mendapat kiriman bom; pelakunya kemudian bunuh diri. “Orang selalu menilai saya dengan serius, sampai melupakan humor dan kelucuan,” katanya dalam sebuah wawancara.

Hidup baginya seperti parodi. Dia, misalnya, beranggapan bahwa setiap orang adalah biseksual, sehingga ketika memilih pasangan, sejenis atau tidak, itu tergantung keberanian orang memilih sisi yang mana. Dia juga melihat manusia sebagai anggota persukuan. Dia mengaku bahwa menulis lirik adalah peristiwa emosional--banyak lagunya yang didasari peristiwa tragis, seperti tsunami dan percobaan pembunuhan terhadapnya--tapi kadang proses kreatifnya juga tak seserius itu. Misalnya soal judul album Volta. “Saya selalu mencoba mencari judul album lagu dari bahasa Latin atau lainnya, asalkan bukan Inggris,“ katanya. Dia menemukan di Google, Volta adalah ilmuwan Italia penemu baterai.

Mengejar Bjork manggung di Indonesia, menurut Adrie, gampang-gampang sulit. Dia malah tidak menyangka Bjork menerima tawaran manggung di Jakarta--selain di Jakarta, di Asia, Bjork hanya tampil Hong Kong dan Shanghai. Syarat-syarat yang diminta memang berderet, seperti tak ada konferensi pers, tak ada sesi pemotretan, tak boleh ada kamera saat pertunjukan. Tapi Adrie oke saja.

Ya, mestinya memang tak perlu terlalu serius melihat Bjork. Meski musiknya aneh, seaneh orangnya, penampilannya tetap bisa dinikmati oleh orang yang tak berbekal pengetahuan musik. Orang bisa enjoy dengan konsernya tanpa kesulitan, tidak seperti memahami konser musik klasik, misalnya. Dan tampaknya semua penonton bisa mengunyah--tentu dengan cara masing-masing--pertunjukan malam itu. “Susah mendapatkan pertunjukan musik seperti ini, bener-bener unik,” kata Fachri Albar, anak rocker gaek Ahmad Albar.

Pertunjukannya bisa membuat trance, meski penonton tidak ikut bernyanyi seperti dalam pertunjukan musik lainnya. Mungkin karena kental aroma mistis dan ambient--seperti melayang-layang--dalam lagu-lagunya. Dengan menutup mata sebentar, dan memusatkan konsentrasi ke alunan musik, orang pun terjerumus ke dalamnya. Beberapa penonton yang “kerasukan” mencari tempat di bagian belakang yang lebih luas, untuk bisa menyalurkan gerakan dan keliaran mereka, mengikuti gerakan dan bunyi yang dihasilkan Bjork dan band-nya.

Ahmad Taufik dari majalah Tempo edisi 18-24 Feb 2008

Tidak ada komentar: