Terapi sendiri stroke mempercepat pemulihan diri. Piek Mulyadi membuktikan, tekad, analisa diri mampu membuat dirinya bangkit.
Jika anda melihat seseorang dengan kursi roda atau jalan tertatih-tatih menyeret kakinya di pusat pembelanjaan. Mungkin itu, salah seorang pengikut terapi ala Piek Mulyadi. Lelaki kelahiran Surabaya 77 tahun yang lalu, berhasil pulih dari penyakit stroke. Salah satu caranya, mendatangi mal. “Ini untuk menumbuhkan kepercayaan diri,”ujarnya.
Stroke penyakit syaraf yang menduduki peringkat utama penyebab kematian itu menyerang mantan Direktur Jenderal Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri. Saat itu Piek, 1996 berencana menuju ke tempat kerja, merasakan awaknya tak enak, mampir dulu ke dokter keluarga. Dokter menyarankan agar tak perlu melanjutkan ke kantor dan istirahat saja di rumah. Karena darahnya sedang tinggi.
Namun, karena merasa banyak janji dan sejumlah tugas yang sudah menunggu, Piek tak peduli saran itu. Apalagi dia yakin, tak mungkin terserang penyakit bloedrek itu. “Wong, saya ini, pendonor darah yang tetap bertahan ke PMI, kok,”katanya. Tetapi tekanan darahnya menunjukkan angka 200. Saat Piek ke Palang Merah Indonesia, lembaga itu juga menolak menerima donor dengan lasan tekanan darah tinggi itu.
Karena kesibukannya, bekas Wakil Gubernur Jakarta itu lupa dengan darah tingginya. Beberapa hari, sesudah ketidaknyamanan tubuhnya, Piek bermain dengan cucu-cucunya ke pusat perbelanjaan yang dibangunnya, Mal Ciputra dan Hotel. Naik turun tangga, lari-lari kecil membuat emosinya meluap gembira.
Esoknya saat masih di tempat tidur, rupanya, sang cucu belum puas main-main dengan eyangnya. Namun, ternyata Piek tak bisa bergerak, mau memeluk cucu malah terjatuh. Langsung dibawa ke rumah sakit. Dokter dan suster yang menangani tak segera bergerak, hanya bilang harus istirahat, kecapekan saja. Tak puas dengan informasi dari pelayanan medis itu, Insinyur lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB), terus mencari tahu kepastian penyakitnya itu.
Seorang teman yang punya pengaruh di rumah sakit itu, meminta Piek benar-benar dilayani sepenuh hati. Akhirnya ditentukan, harus discan. Ternyata di rumah sakit tersebut tak ada fasilitas MRI--alat scan--. Piek dirujuk ke Rumah Sakit Pertamina, Jakarta Selatan. Dua hari di rumah sakit itu belum juga ditangani. “Itu yang bikin saya sesalkan,”katanya.
Menurutnya, ada golden periode, yang hilang, yaitu masa emas untuk segera mengambil tindakan saat stroke menyerang, agar tak mengalami kelumpuhan atau yang lebih parah, sampai pada kematian. Beruntung, walaupun, sudah kehilangan waktu yang berharga itu, Piek bisa berangsur-angsur pulih. Setelah scan, dan diketahui penyakitnya adalah stroke menyerang otaknya, Piek mengalami lumpuh dikembalikan dan dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah.
Dalam masa perawatan dokter, selain obat-obatan, perawat rumah sakit tersebut, juga memberikan terapi, antara lain, menunjuk-nunjukkan jari dan meminta Piek menghitungnya. Sebagai pasien yang berpendidikan, dia ingin tahu tujuan terapi itu. Menurut suster perawat, stroke menyebabkan kelumpuhan dan juga mempunyai efek lupa. Nah, terapi itu salah satu untuk menangani lupa.
Setelah mengetahui tujuannya, Piek, memberi tahu pada suster, justru saat dirawat karena serangan stroke, dia tidak mengalami kelupaan. Bahkan, ingatannya semakin kuat. Piek membuktikan, bahwa ingatannya justru muncul saat ia mengalami kecelakaan di Jerman. Selama ini, sebelum terserang stroke ia tak tahu penyebab ia masuk rumah sakit dan sempat mengalami koma selama lima jam. Dokter di rumah sakit Jerman, hanya mengatakan, mengalami kecelakaan lalu lintas.
Namun, saat terserang stroke, muncullah kejadian awal penyebab koma selama lima jam itu. Inilah ingatannya; saat keluar dari hotel menyeberang jalan, dari jauh tampak sebuah mobil ngebut. “Saya lari dan melompat jatuh kepala membentur trotoar, jadi jidat saya banyak pasir. Karena itulah, saya yakin, bahwa kesadaran dan ingatan saya masih baik,”ujarnya.
Sebulan setelah dirawat di rumah sakit, Piek diminta pulang ke rumah. Namun, penyusun masterplan DKI Jakarta 1965-1985 ini belum mau pulang. Piek menolak karena merasa belum bisa merawat diri sendiri. Dia minta memperpanjang masa tinggal selama satu minggu, untuk merawat bisa merawat diri sendiri di rumah. Ia terus menjalani fisioterapi. “Saya tak mau kehilangan satu haripun jadwal terapi di rumah sakit,”katanya.
Saat masa perpanjangan waktu itulah, Piek menemukan cara mengatasi agar bisa pulih. “Saya melihat seorang pasien yang serupa dengan saya, lagi latihan jalan dipapah oleh suster, lalu mau jatuh. Namun secara reflek pasien itu mencoba mencari pegangan. Memang pasien itu tampak seolah-olah lemah, padahasil ternyata ada power,”ujarnya.
Sesudah melihat kejadian itu, setelah pulang, di rumah, Piek mencoba yang disebutnya “keseimbangan sirkus”. Yaitu, cara seperti sebuah pertunjukkan sirkus, yang mempertontonkan orang berjalan di atas tali dalam ketinggian tertentu. “Dari tempat tidur saya memanggil anak saya, untuk menjagai saya, belajar jalan,”katanya.
Piek mengambil, walker, alat belajar jalan seperti tongkat. Dengan dorongan tenaga sedikit-sedikit dan tekad yang kuat, Piek dapat berjalan sejauh setengah meter. “Saya berhenti saat sudah menggeh-menggeh,”ujarnya. Sejak saat itu Piek menggunakan berbagai macam cara agar bisa jalan, mulai dari pakai dingklik, jalan-jalan di atas pasir di pantai Ancol, sampai jalan ala pramuka, baris berbaris.
Setelah semua cara dilakukan, Piek memikirkan cara untuk mengembalikan kepercayaan diri. “”Saya minta diantar jalan-jalan ke mal Pondok Indah,”katanya. Semua anggota keluarga, heran, tak mau belanja aau urusan lain, tapi minta jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Piek meyakinkan keluarganya, bahwa ini salah satu terapi untuk menumbuhkan kepercayaan diri. Karena orang stroke, apalagi orang yang pada waktu sehat sangat aktif cenderung malu pada masyarakat sekitarnya, karena sakit dan emngalami kelumpuhan. “Saya mau tahu diri saya di mata masyarakat. Bagaimana orang memandang di kursi roda. Ternyata tak ada orang mempersoalkan, tak ada orang ribut,”ujarnya.
Dari terapi mal itulah, Piek dapat mengambil pelajaran bahwa seorang yang terkena stroke, lingkungan sosialnya juga musti dijaga. Jangan sampai orang tersebut terpisahkan diri dari kehidupan sehari-hari. “Misalnya, kalau orang biasa main basket, usahakan main basket walaupun pake kursi roda,”katanya.
Selain mengobati dirinya sendiri, Piek juga mengajak dan memberi motivasi pasien yang lain. “Ada yang berhasil, bagi yang punya tekad tak pantang menyerah, tapi juga ada yang gagal, karena egonya,”ujarnya. Piek juga membentuk klub stroke—kumpulan penyandang penyakit akibat serangan urat syaraf. “Klub itu untuk mengembalikan hasrat hidup, mengurangi rasa minder dan mencegah stress timbul karena sebab tersebut,”katanya.
Klub Stroke Karmel, Jakarta Barat misalnya punya jadwal tiap Hari Rabu. Mulai dari senam pagi bersama, sampai karaoke. "Sebetulnya perkumpulan ini merupakan perpanjangan dari program latihan dasar rehabilitasi untuk penderita stroke. Tujuannya, agar pasien stroke tak hanya duduk diam merenungkan nasib. Mereka harus aktif, menghilangkan kesedihan, depresi, dan kembali bermasyarakat,”kata Pimpinan Sentra Stroke dan Revitalisasi Karmel, Dokter spesialis syaraf Hermawan Suryadi.
Soal klub stroke diakui oleh dokter ahli syaraf dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, Nurdjaman, membantu penderita stroke memulihkan diri. “Dengan klub itu sesama penderita bisa share, berbagi pengalaman mengatasi penyakit yang menyerang itu,”katanya.
Namun, sebagai dokter, Nurdjaman, tetap berpendapat memberikan obat-obatan untuk mengatasi sumber utama penyumbatan jalan darah penyebab stroke itu. “Kematian terbanyak pada penderita stroke adalah pasien yang mengalami penyumbatan otak (infark). Penderita yang mengalami penyumbatan darah ke otak mencapai 70 persen, karena itu diperlukan obat-obatan untuk mengurangi penyumbatan tersebut,”katanya.
Selain itu, menurut Nurdjaman, diperlukan pola hidup sehat. “Jangan merokok, minum kopi, alkohol, olahraga secara teratur dan jangan mudah stress,”katanya. Piek juga menyarankan agar pasien stroke mempercayakan diri pada dokter yang menanganinya. “Setelah percaya pada Tuhan, kita juga harus percaya kepada dokter yang menangani kita. Serta jangan malas untuk terus-menerus fisioterapi,”ujarnya.
Pendidikan Nasib
8 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar