Senin, Mei 07, 2007

Pers Mahasiswa

Pers Mahasiswa di Pusaran Era Reformasi *)


“Masyarakat pada dasarnya memiliki unsur hakiki yang bersifat komunikatif –anti kekerasan dan mengedepankan common sense (akal sehat). Namun unsur hakiki itu telah banyak ditindas dan dikikis oleh segi-segi instrumental dan manipulatif dari pengetahuan dan tindakan birokrasi modernitas kapitalis. Modernitas yang cacat –karena menyembunyikan kekuasaan- tersebut harus diatasi dengan proyek pencerahan masyarakat untuk membangun rasio komunikatif yang kritis terhadap rasionalitas yang diarahkan kekuasaan”
(Jurgen Habermas)

Sejarah pers di mana pun, termasuk dan lebih-lebih di Indonesia, menurut pakar komunikasi massa Jallaluddin Rakhmat, adalah pertarungan abadi di antara ketiga macam dongeng ; dongeng wartawan, politisi, dan petugas public relation.

Ada satu masa ketika dongeng wartawan dan politisi tumpang
tindih, seperti yang terjadi pada Orde Baru. Pers hanyalah carbon copy dari pemerintah. Kita memperhalusnya dengan ungkapan hubungan kemitraan. Pers bukan “watchdog” seperti di negara-negara Barat yang liberal, bukan juga budak seperti di negara-negara Timur yang otoriter. Inilah pers Pancasila.

Pada masa lain, menjelang akhir Orde Baru,sebagian dari perusahaan pers sudah berkembang menjadi gurita raksasa bisnis. Mereka melakukan ”diversifikasi produk” dengan memasuki bidang-bidang bisnis yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pers atau media. Pada saat yang sama, melihat kekuatan perusahaan pers untuk menggali emas,

Perusahaan-perusahaan besar dalam bidang apa saja mulai memasuki bisnis pers. Hubungan antara pers dengan bisnis ini disebut sebagai sesuatu yang niscaya. Inilah aspek komersial dari industri pers. Pers tidak akan berhasil mewujudkan aspek idealnya, bila ia gagal secara
komersial. Kalangan pers umumnya menyebut hubungan ini sebagai pers professional.

Profesionalisme, baik dalam pers secara umum maupun dalam dunia pers mahasiswa, mutlak sekali dibutuhkan. Kebutuhan pengelolaan secara profesional bagi pengelola pers mahasiswa nampaknya sudah tidak bisa ditawar lagi. Profesionalisme menjadi unsur terpenting bagi manajerial pers yang dikembangkan mahasiswa. Di tengah arus informasi yang diperjualbelikan dengan kemasan yang begitu canggih dan memukau konsumen media, tidak ada cerita lagi bagi pers mahasiswa untuk tampil ala kadarnya, asal terbit, atau bahkan asal bisa dibaca sendiri. Pers mahasiswa harus bisa menyesuaikan penampilannya dengan kehendak pasar. Pada kondisi inilah profesionalisme sangat dibutuhkan.

Pada sisi yang lain, kehadiran pers mahasiswa di tengah masyarakat memiliki warna tersendiri dan warna tersebut begitu khas. Harus diakui bahwa pers mahasiswa bersifat memiliki aspek nalar di atas rata-rata, idealisme tinggi, serta wawasan pemikiran yang jernih dan tajam. Posisi ini nampaknya agak sulit digantikan oleh pers umum. Belum lagi kemampuan komunikasi personal yang baik pada sebagian besar pengelola penerbitan kampus.

Walau diakui bahwa intelektualisme yang terpantul dari pers mahasiswa saat ini agak mendangkal kadarnya, ini bukan merupakan suatu hal yang mudah ditemukan penyebabnya. Pers mahasiswa hidup dalam perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat. Oleh sebab itu, tak salah jika peran-peran pencerahan masyarakat tetap dapat diemban oleh mahasiswa, salah satunya lewat pers mahasiswa.

Namun begitu, bukan berarti potensi yang ada tersebut dapat berkembang tanpa ada upaya menempa diri. Seyogyanya, pers mahasiswa tidak hanya sekadar dimaknai sebagai wahana belajar dan forum menyampaikan buah pikiran kepada khalayaknya. Namun lebih dari itu, dituntut memberikan sumbangan mendidik bagi khalayak pembacanya, baik di kalangan kampus maupun masyarakat luas. Melihat perkembangan masyarakat yang berjalan ke arah keterbukaan, pengelola penerbitan kampuspun dituntut biasa bekerja dan berkomunikasi dengan nalar yang tajam dan dengan sikap terbuka dalam pemikiran. Pada pers kampus perlu ada peluang untuk forum pertukaran pikiran, dalam bentuk pertemuan tulisan maupun dalam bentuk pertemuan aktual.

Tradisi pers mahasiswa adalah membangun intelektualisme. Idealisme pers mahasiswa adalah kata kunci untuk menjelaskan perubahan-perubahan adikal dalam diri aktivis pers mahasiswa. Idealisme pers mahasiswa itu, menurut Didik Supriyanto, tumbuh bekembang dan diyakini oleh para aktivisnya karena adanya sosialisasi tentang kisah sukses pers mahasiswa pada periode sebelumnya. Tercatat pada perubahan kekuasaan dari pemerintah Sukarno ke Suharto, pers mahasiswa berperanan menjai agen perubahan, terlepas apakah memang saat itu “ditunggangi” kepentingan antara pengelola pers mahasiswa atau aktivis saat itu dengan kelompok politik yang sedang melakukan perubahan kekuasaan (tentara).

Dalam prakteknya, ketika para aktivis hendak merealisasikan idealisme tersebut ternyata menemui banyak hambatan, yakni realitas sosial politik yang tidak akomodatif bagi aktvis pers mahasiswa. Perbenturan antara idealisme perbenturan antara idealisme pers mahasiswa dengan realitas sosial politik inilah yang kemudian mendorong proses radikalisasi dalam diri aktivis pers mahasiswa.

Jika dulu pers mahasiswa begitu vokal menyuarakan kebenaran, maka hal tersebut perlu terus dipertahankan dengan menambah bobot profesionalisme pengelolaannya untuk memasuki dinamika masyarakat saat ini. Gairah pers mahasiswa untuk berperan penting dalam membangun rasio komunikatif juga tidak boleh surut atau bahkan ‘binasa”.

Pemancing diskusi di acara Pers Mahasiswa, Unikom, Bandung

Tidak ada komentar: