Senin, Mei 07, 2007

International Affair : Irak

Milisia Tanpa Sadr

Pemimpin milisi syiah militan di Irak Moqtada a-Sadr dikabarkan nyumput ke Iran. Cuma perang urat syaraf ala Amerika Serikat.

Duapuluh satu ribu lebih tambahan tentara Amerika Serikat ke Irak belum mendarat, tapi perang urat syaraf sudah dimulai. Hampir seluruh media massa barat, sejak Selasa pekan lalu mengabarkan pemimpin milisi syiah militan Irak, Muqtada Al-Sadr sudah berada di Iran sejak dua atau tiga pekan lalu.

Menurut ABC News, Muqtada terbang ke Iran bersama beberapa tentara Mahdinya. Menurut sumber dari pejabat AS, kepada Martha Raddatz dari ABC, Muqtada kawatir dengan adanya penambahan tentara AS ke ibukota Irak, Baghdad dan ia menjadi korban dari target utama Amerika. “Dia takut, serangan bom ke rumahnya,”ujar sumber tersebut.

Menjadi target utama tentara AS bukanlah barang baru bagi Muqtada. Sejak empat April tiga tahun yang lalu ulama muda militan ini telah masuk daftar kejaran pasukan koalisi yang dipimpin Amerika. Dosanya adalah menjadi dalang perlawanan bersenjata. Muqtada mencatat sebuah langkah fenomenal menyatukan kaum Syiah dan Suni dalam melawan pasukan koalisi. "Orang Irak yang bermartabat tidak akan menerima niat jahat Amerika menjajah Irak,"kata pemuda bercambang lebat itu.

Pada awal pendudukan Amerika atas Irak, Muqtada mengklaim memiliki 10 ribu pasukan paramiliter Imam Mahdi. Namun, semakin hari, setelah makin populer, simpati pun banyak, dan pasukannyapun bertambah. Bahkan hampir 90 persen penduduk di Sadr City, di pinggiran Baghdad adalah pendukungnya. “Pemilihan umum 2005 lalu dua juta warga Sadr City memilih Muqtada,”kata Amar Kabab, 25 tahun.

Muqtada memang bukan orang sembarangan. Ayahnya, Ayatullah Muhammad Sadiq al-Sadr, termasuk ulama terbesar Syiah pada dekade 1990. Sadiq Sadr terus berdakwah di Kota Suci Najaf, dan tak segan mengkritik pemerintah diktatorial Saddam Hussein. Pada Februari 1999, Sadiq Sadr bersama dua kakak Muqtada tewas dibunuh intelijen militer Saddam. Sebelumnya, sekitar 1980, Muhammad Baqir Sadr, paman Muqtada, juga mati dibunuh. Baqir Sadr, merupakan ulama yang dianggap sederajat dengan pemimpin revolusi Iran, Ayatullah Ali Khomeini, dia ikut mendirikan Partai Dakwah yang menjadi oposisi Saddam. Partai ini pula yang melahirkan Perdana menteri Irak saat ini, Nuri Kamal Muhammad Hasan alias Jawad al-Maliki.

Bagai panser, Muqtada maju terus pantang mundur, bahkan siap menggilas penghalangnya untuk melawan Amerika. Tak heran jika milisi di bawah pimpinan Muqtada diduga terlibat pembunuhan Ayatullah Abdul Majid al-Khu'i, anak ulama besar Najaf, Ayatullah al-Khu'i. Abdul Majid dituding terlalu lunak dan bersekutu dengan Amerika. Mustafa Yaqubi, orang dekat Muqtada ditangkap pasukan koalisi pimpinan Paul Bremer waktu itu. Karena itu pulalah Muqtada mendapat status "buronan" sehari setelah penangkapan Yaqubi.

Dibandingkan tokoh Syiah lain, Muqtada amat keras menentang pendudukan AS. Kelompoknya membenci siapa pun warga Irak yang sudi bekerja sama dengan pasukan koalisi. Ia pernah menolak eksistensi Pemerintahan Transisi Irak, dan mendeklarasikan kabinet bayangan. Targetnya Irak merdeka dan menerapkan hukum Islam sebagai dasar negara.

Pasukan Muqtada bahkan pernah unjuk kekuatan pada 2003, beberapa saat setelah invasi AS dan jatuhnya Saddam. Para pengikutnya mengepung rumah Ayatullah Ali Sistani di Najaf dan menguasai makam Imam Ali bin Abi Thalib. Penguasaan Najaf baru berakhir setelah sekitar 1.500 kepala suku turun tangan dan meminta mereka membubarkan diri. Itupun setelah sempat perang berhari-hari dengan para pengikut Ayatullah Sistani dan pasukan suni, Tentara Badr. Para militer Muqtada pula yang pertama kali menembak jatuh helikopter perang AS tak jauh dari kota Najaf.

Namun belakangan, Muqtada berhasil dibujuk untuk ikut serta dalam “sistem”. Bahkan dia menuruti perintah Marja’ Ayatullah Sistani, “merebut Irak lewat demokrasi.” Walaupun dalam pemilihan umum 2005, Partainya Blok Sadrist, tak mendapat suara yang signifikan, dan akhirnya berkoalisi dalam Aliansi Irak Bersatu—kumpulan partai-partai militan syiah—, di bawah pimpinan Partai Dakwah Islamiyah mendukung Perdana Menteri Ibrahim Jaafari. Belakangan setelah Jaafari dianggap tak becus memerintah, Muqtada turut serta menjatuhkannya dan sepakat Nuri Kamal Al-Maliki, menjadi Perdana Menteri baru hingga kini.

Di bawah Al-Maliki, Muqtada “mengerem” segala aktivitas militannya melawan AS. Seolah memberi kesempatan kepada pemerintah di bawah Al-Maliki berbuat lebih banyak dan baik untuk Irak. Tapi setelah makam suci Imam Hasal al-Askari dan masjid emasnya dibom hingga hancur Februari tahun lalu, Muqtada dan pasukannya tak mau tinggal dian serta mulai bergerak. Kini musuhnya bukan saja pasukan AS, tapi juga orang-orang sunni yang didukung orang-orang arab dari luar Irak. Muqtada menganggap, orang-orang sunni yang menyerang makam-makam suci dan peringatan-peringatan ritual syiah, hanyalah merupakan “kaki tangan” Amerika untuk menghancurkan dan memecah belah Irak.
Akibatnya, kondisi Irak makin payah. Perang sektarian semakin tak bisa lagi dihentikan. Amerika Serikat dianggap gagal membuat negara Irak yang aman dan demokratis.
Di tengah kegagalan itu, Presiden George Walker Bush menuding, Iran sebagai penyebabnya. Negara di bawah pemimpin spiritual Ayatullah Khamenei itu dituduh memasok senjata-senjata untuk milisi syiah melawan Amerika. Bahkan beberapa bulan belakangan ini tentara AS kerap menangkapi mata-mata Iran yang berada di Irak. Di dalam negerinya Presiden Bush minta tambahan anggaran untuk menambah pasukan di negeri itu.

Nah, menjelang datangnya tambahan pasukan itu diplomat AS melalui media massanya melemparkan isu Muqtada lari ke Iran. Di negeri tetangga itu pula, isteri dan anak-anak ulama militan berusia 34 tahun itu tinggal.

Ketua fraksi Partai Blok Sadrist di Parlemen Irak, Nassar al-Rubaei, membantah kabar burung itu. “Dia sekarang di Irak,”ujarnya. Menurut Nassar dan sumber lainnya, Sadr ngumpet di Najaf, dengan alasan keamanan. “Sejak peringatan Asyura dia berdiam disana dan tak nongol ke publik,”katanya. Pejabat imigrasi Iran melali kantor berita Iran, IRNA, juga membantah masuknya Muqtada ke negeri itu. “Laporan pemimpin muda syiah ke Iran sangat tidak berdasar,” ujarnya.

Seharusnya, Jumat pekan lalu, Muqtada bertemu dengan sejumlah tamu asing. Namun, sejak beredar kabar dia kabur ke Iran, pertemuan itu ditunda. Diduga Muqtada akan muncul lagi, setelah 40 hari peringatan Asyura. Begitulah kebiasaan orang syiah untuk menghormati syahidnya Imam Hussein yang tewas di Karbala pada tahun 680 masehi. Penasihat Perdana Menteri Irak, Sami al-Askari, juga yakin Muqtada segera muncul lagi dan tidak pergi meninggalkan Irak, walaupun ada rencana baru keamanan terpadu pasukan AS dan tentara Irak.

Sebagai langkah awal untuk rencana keamanan terpadu dan menyelamatkan Irak dari perang sipil, Perdana Menteri Al-Maliki memerintahkan tentara Irak menutup semua pintu masuk Iran-Irak dan Irak-Suriah selama 72 jam. “Setelah itu dibuka dengan ketat dan terbatas,”ujarnya lewat televisi Rabu pekan lalu. Pasukan Inggris di selatan Irak, basis milisi kaum syiah dan pendukung Muqtada, juga memperketat pos-pos pemeriksaan di Basrah, kota di Irak yang berbatasan dari darat dan laut dengan Iran.

Cara-cara yang diambil pemerintah Al-Maliki dan pasukan koalisi ini juga dimaksudkan untuk mempersempit gerak milisi, baik syiah maupun sunni. “Kini pemerintah tak mau ambil resiko lagi, harus tegas, tak ada toleransi lagi,”ujar Perdana Menteri Al-Maliki. Jadi selama ini?

Sumber Tempo, World War 4 Report, Reuters, Arab Monitor dan Alaska Report News

Tidak ada komentar: