Sabtu, Februari 28, 2009

Impor Rahmat VS Impor Radikalisme

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Rodham Clinton saat berceramah di depan media massa dalam kunjungannya ke Indonesia pekan lalu menyatakan Indonesia sebagai surga bagi berkembangnya kebhinekaan dan demokrasi. "Indonesia, sebuah negara yang menunjukkan dengan jelas Islam, modernitas dan demokrasi tak hanya bisa hidup bersamaan, tetapi juga tumbuh bersama,"katanya.

Terlepas dari agenda di balik pernyataan itu atau sekadar diplomasi, ucapan itu bukan sekadar omong kosong. Islam berkembang biak seiring dengan pergerakan Indonesia sampai menuju gerbang kemerdekaan. Menilik sejarah masuknya Islam di Indonesia, justru berkembangan karena masuk secara damai melalui perdagangan, perkawinan dan akhlak dalam kehidupan sosial mereka, bukan dengan jalan kekerasan, pedang. Sejarah juga membuktikan "kejayaan" Islam yang dikembangkan dengan "pedang" jalan kekerasan di Eropa malah kini tak bertahan lama.

Masuknya paham radikalisme agama (Islam) pernah terasa saat tentara paderi (tahun 1836) pimpinan Tuanku Tambusai melakukan gerakan purifikasi pelaksanaan ajaran Islam mulai dari Tambusai, Barumun, Padang Lawas sampai ke Mandailing di Sumatera. Gerakan beraliran Wahabi (karena para tokohnya menjadi penganut aliran garis keras setelah berkunjung dan belajar di Saudi Arabia) itu beraksi dengan tangan besi, menyerang kampung-kampung dengan membakar, membunuhi, memperkosa , merampas harta dan emnjadikan perempuan sebagai budak belian. Namun, aliran seperti itu tak mendapat tempat di hati warga nusantara yang cinta damai dan hidup gotong royong.

Fundamentalisme = Zionisme

Fundamentalisme seharusnya bermakna positif, begitu juga radikalisme. Secara kata fundamentalisme berarti ajaran kembali ke ajaran dasar (basic/fundamen) begitu juga radikalisme ajaran yang kembali ke akar (radix). Namun, kata itu menjadi makna negatif karena para pelaku yang puritan atau konservatif mengaku melakukan gerakan kembali ke dasar atau ke akar. Padahal yang mereka lakukan adalah tindakan primitif dengan jalan kekerasan dengan semangat yang diskriminatif (atas nama agama, suku/ashobiyah bahkan Tuhan).

Fundamentalisme dulu awalnya lebih banyak dipengaruhi karena tekanan penguasa (pemerintah) terhadap para penganutnya. Namun, belakangan Fundamentalis lebih banyak dipengaruhi dari ajaran Kaum Wahabi yang dibawa oleh para pelajar atau santri-santri yang belajar di Timur Tengah, khususnya di Saudi Arabia. Di negeri Arab itu perbedaan dan demokrasi diharamkan, untuk mencegah timbulnya pemberontakan, mereka "mengekspor" paham Wahabi ke negeri lain.

Di Saudi Arabia para ulama berkumpul di Dewan Ha'iah KibarAl-Ulama dan al-Lajnah al-Daimah li'l-Buhuts al-'Ilmiyyah wa'l ifta'(The Permanent Council for Scientific Research and Legal Opinions). Lajnah ini dipimpin oleh Ulama Wahabi pro Pemerintah Kerajaan Saud, 'Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (1911-1999), sampai meninggalnya ia adalah mufti agung Kerajaan Saudi Arabia.

Saudi Arabia mendidik banyak orang asing, diantaranya dari Indonesia. Namun selain itu mereka juga mendanai organisasi-organisasi dan gerakan-gerakan "Islam" pro Wahabi di Indonesia. Untuk urusan santri atau pelajar mereka masuk lewat pesantren, pendidikan bahasan Arab milik Kerajaan Saudi (yang sekarang di Pejaten—seberang Republika). Dana mereka masuk lewat lembaga-lembaga, yayasan-yayasan bahkan partai politik, ada juga lewat individu-individu yang datang langsung ke Indonesia, tinggal bersama masyarakat, sumbang sana sumbang sini, atau lewat lulusan-lulusan Saudi Arabia, diantaranya kini ada dalam kabinet yang sekarang. Fundamentalisme kini bahkan berkembang juga memainkan agama untuk kepentingan politik, demi untuk mengoyang kekuasan tertentu, atau memperoleh keuntungan materi.

Kelompok ini lebih patut dikatakan sebagai Islam politik. Karena mereka bermain di wilayah politik di manapun berada untuk merusak kehidupan yang harmonis suatu masyarakat/negara. Islam politik ini mempunyai jaringan yang cukup kuat dengan mata rantai di beberapa negara Islam di dunia seperti Malaysia, Bangladesh, Pakistan, Afghanistan, Kuwait, Uni Arab Emirat, Yaman, Oman, Qatar, Bahrain, Saudi Arabia, Mesir, Syria, Jordania, Lebanon, Palestina, Turki, Aljazair, Sudan, Maroko, Tunisia, Kyrgistan, Uzbekistan, Chechnya, Somalia, Lybia, dan juga sudah menyebar di negara-negara Eropa, Amerika dan juga Australia.

Pengalaman di Pakistan, Afghanistan, Irak dan juga Indonesia, Islam garis keras justru merusak ketahanan sebuah bangsa. Sehingga akhirnya, karena lemah dan sering terjadi keresahan sosial, pihak asing mudah masuk di dalamnya. Saya yakin, biang keladi semua itu berasal dari Zionisme.

Zionisme, bukan hanya berasal Israel, tapi bisa dalam berupa-rupa wajah. Intinya adalah penjajahan (imprealisme) dalam segala bidang, mulai dari moral sampai keuntungan material. Zionisme Islam, berpusat di Saudi Arabia, melihat tindak tanduknya mengimpor keresahan lewat wahabisme ke berbagai negara, melemahkan negara yang berhasil disusupinya. Saudi Arabia dalam kasus serangan Israel ke Gaza atau Lebanon misalnya, tak pernah mengecam negara itu. Karena segala perlindungan kerajaan Saudi Arabia berada di tangan Zionis (Israel dan Amerika Serikat).

Zionisme Kristen, pernah ditunjukkan saat George Bush berkuasa di Amerika Serikat. Tangannya di Indonesia kini ada dalam radikalisme kelompok kristen yang semangat merusak kehidupan yang harmonis. Ada beberapa pengusaha dan pejabat Indonesia yang menjadi "agen" dari zionisme kristen ala "George Bush" itu. Zionisme Yahudi ada dalam pemerintah Israel yang ekspansif kini. Tak semua orang Yahudi zionis, karena di Israel sendiri ada orang-orang Yahudi yang baik, yang memahami sejarah, bahwa orang-orang tua mereka pernah bisa hidup berdampingan pada saat zaman Nabi Muhammad SAW. Mereka pernah merasakan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.

Waspada Wahabi

Kelompok Wahabi berusaha merasuk dalam kehidupan masyarakat dalam wajah "kesalehan". Namun, dalam prakteknya dia merusak kehidupan yang harmonis. Kelompok ini menganggap mazhab lain sebagai sesat dan menyesatkan. Mereka dengan berpatokan pada hadis:"Kullu bid'ah dhalaalah wa kullu dhalaalah fî n-naar".(semua inovasi itu sesat dan semua yang sesat itu masuk neraka).

Kata "bid'ah" yang mereka tuduhkan hanyalah kata pelembut, untuk `kafir', Contoh2 yg diklasifikasikan sebagai bid'ah menurut paham Wahabi :-berziarah ke kubur termasuk kubur Nabi, tawassul, baca qunut, talqin, tahlil, istighatsah, berzikir berjamaah,membaca maulid diba' ataupun burdah yang berupa puji-pujian pada Nabi yang biasa dilakukan kaum MusliminMenurut mereka (kaum Wahabi) pelaku-pelaku seperti itu akan masuk neraka, alias kafir.

Dari sinilah akhirnya kaum Wahabi yang mengaku sebagai pengikut Salafy ini layak diberi gelar "Kelompok Takfir" (jama'ah takfiriyah), kelompok yang suka mengkafirkan golongan lain yang tidak sepakat dengan ajarannya. Oleh karena itu, tempat-tempat bersejarah Islam seperti rumah tempat lahir Nabi, rumah Ummul Mu'minin Khadijah tempat tinggal Nabi dan banyak tempat-tempat bersejarah lain yang masuk wilayah kerajaan Arab Saudi kini telah dihancurkan. Kalau tidak mendapat protes dari segenap kaum Muslimin sedunia niscaya kuburan Nabi pun sudah diratakan dengan tanah, sebagaimana yang terjadi di makam para sahabat dan syuhada' Uhud di Baqi' Madinah dan para keluarga Rasul di Ma'la , Makkah.

Wahabi kemudian dikenal sebagai gerakan anti-ilmu pengetahuan dan menjadi salah satu sumber keterbelakangan umat Islam. Mereka menolak apapun yang baru, seperti teknologi dan jaringan informasi. Dengan tegas mereka menolak demokrasi. Mereka mengurung perempuan di dalam rumah, menganggap pembantu rumah tangga (tenaga kerja wanita) sebagai budak, sehingga bisa diperlakukan semena-mena. Mereka mengharamkan nyanyian, membenci kesenian, keculai tari perut di ruang-ruang tertutup mereka. Memanjangkan jenggot bagi laki-laki dewasa adalah kewajiban. Buku-buku tasawwuf dan filsafat yang merupakan salah satu kekayaan Islam adalah barang-barang haram. Praktik kehidupan sosial seperti ini tampak nyata dalam kehidupan masyarakat Afganistan di bawah kekuasaan Taliban yang berideologi Wahabi.

Dengan keuntungan minyak yang seolah tak ada habisnya, penguasa Arab Saudi kemudian mengekspor ideologi Wahabi ke seluruh dunia, tidak hanya ke negara-negara Islam, melainkan juga ke Eropa dan Amerika. Menurut Hamid Alghar, dalam buku Wahhabism: A Critical Essay, kelompok ini berhasil meraih pengikut sekitar 10 persen dari keseluruhan umat Islam di seluruh dunia. Anak-anak muda yang menyediakan diri menjadi martir dalam kegiatan bom bunuh diri di Eropa dan Amerika Serikat beberapa tahun ini adalah generasi yang benar-benar terdidik secara "barat." Ideologi yang diekspor oleh penguasa Saud-Wahabi telah menggerakkan anak-anak muda Islam didikan "barat" untuk melakukan aksi terorisme.

Keluarga Saud dan Wahab yang sekarang menguasai otoritas politik dan agama di Arab Saudi sesungguhnya bukanlah keluarga yang cukup saleh, bahkan boleh dibilang bejat secara moral. Stephen Sulaiman Schwartz, The Two Faces of Islam: The House of Sa'ud from Tradition to Terror, menyebut keluarga al-Saud sangat gemar menghambur-hamburkan uang untuk berjudi dan bermain perempuan. Dengan kelakuan semacam itu, pangeran Saudi saat ini mencapai 4.000 orang. Artinya, seorang raja yang memiliki ratusan isteri dan selir bukanlah dongeng di Arab Saudi.

Schwartz menyebut dukungan terhadap Wahabi yang dilakukan oleh penguasa Arab Saudi saat ini adalah bentuk pengelabuan atas praktik tak bermoral yang mereka lakukan. Ideologi yang disebarkan oleh keluarga mantan bandit inilah yang kemudian dianut, atau setidaknya mempengaruhi, kelompok Islam Indonesia yang belakangan ini begitu gemar mengkafirkan dan mengeluarkan fatwa sesat terhadap mereka yang berbeda pendapat. Pengetahuannya terhadap Islam dan sejarahnya begitu dangkal, mereka bahkan adalah orang-orang yang sebetulnya tidak religius. Karena kekerasan tidak akan muncul dari religiositas. Rasa rendah diri yang membuat kelompok brutal.

Nah, tentunya kita tak mau Nusantara ini hancur lebur karena paham-paham tersebut, yang sesungguhnya punya agenda tersembunyi dari "tangan imprealisme jahat". Gerakan "pemaksaan syariat", penyeragaman "pemahaman" dan satu kepemimpinan dunia, merupakan tangan-tangan kotor yang berusaha memecah belah, mengganggu kehidupan harmonis, dan menciptakan keresahan sosial. Sehingga upaya yang tengah dibangun bangsa ini untuk bangkit menjadi terhambat. Kita tak boleh menyerah.

Walaupun kelompok zionisme berwajah wahabi di Indonesia kini seringkali bersatu dengan Islam politik yang merusak tatanan kehidupan bangsa. Memperkuat rasa solidaritas, toleransi, tolong menolong adalah cara efektif melawan mereka, dibandingkan cara-cara kekerasan seperti yang mereka lakukan terhadap bangsa ini. Kini semua tergantung kita rakyat Indonesia memilih menerima impor rahmatan lil alamin atau impor limbah radikalisme agama. Tak semua barang impor buruk, tetapi tentu kita pilih-pilih impor yang berguna dan bermanfaat bagi negeri ini. Kalau ada yang lebih baik buatan dalam negeri, itu dulu yang didaya gunakan.

Samarinda, 22 Februari 2009

Ahmad Taufik
Ketua Garda Kemerdekaan

makalah untuk diskusi yang di selenggarakan PMII Kalimantan Timur di Gedung Gubernur Kal-Tim di Samarinda, penulis mewakili Yayasan Az-Zahra-Balikpapan

Sumber bacaan : Rendah Diri Kaum Wahabi, Tuanku Rao (MOP), Greget Tuanku Rao (Basyral Hamidy Harahap).

Tidak ada komentar: