Rabu, Maret 11, 2009

Surga Pengasingan Oom Rir

Pulau Banda Neira tempat Sjahrir dan Bung Hatta diasingkan Belanda. Namun, Sjahrir menikmatinya, bermain dan mengajari anak-anak setempat.

Rumah di Kampung Nusantara tampak teronggok sepi. Tak seperti rumah yang pernah di tempati Bung Hatta yang kerap dikunjungi pejabat, apalagi salah seorang anaknya kini menjabat Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta. Tempat tinggal Sjahrir saat di Pulau Banda Neira tak banyak yang melirik. Walaupun begitu bentuk dan arsitektur asli bagunan tetap dipertahankan. Jendela-jendela berukuran besar, tiang-tiang penyangga berbentuk bulat serta langit-langit yang tinggi memberikan kesan rumah milik kakek Des Alwi dari keturunan ibu, Sayyid Abdullah Baadilla, yang disewa untuk Sjahrir menjadi saksi sejarah.

Di rumah itu sejumlah benda peninggalan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia masih terawat ; mesin ketik, lukisan, foto-foto, catatan-catatan serta gramofon pemutar piringan hitam. Ada pula surat asli pengangkatan Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri oleh Presiden Soekarno. Sesepuh Banda Neira, Des Alwi mengaku
bersama-sama masyarakat setempat membutuhkan waktu bertahun-tahun mengumpulkan kembali benda-benda pusaka tokoh itu. Bahkan ada yang didapat dari Belanda. "Mereka (Sjahrir dan Hatta) adalah pejuang besar bangsa ini yang perlu dikenang sepanjang masa, selain itu mereka juga ayah angkat saya,"kata Des yang punya nama lengkap Des
Alwi Abubakar.

Des, 82, masih ingat pertemuan pertama kali dengan Sjahrir dan Hatta. Waktu itu sore pada 11 Februari 1936, saat Des berenang bersama kawan-kawannya di dekat dermaga Pulau Banda Neira--sering disebut Neira saja—sebuah kapal warna putih tertulis nama di lambungnya Fomal Haut merapat menghampiri dermaga kayu. Dua orang
tuan mengenakan setelan jas putih dan berdasi turun. Wajah mereka pucat, tampak pula bersama mereka delapan koper besar dari kayu dan empat tas besar kulit. “Walau masih kecil saya mengetahui, pasti kedua tuan itu dari Boven Digul di Papua. Berdasarkan pengalaman mengamati setiap kali kapal putih merapat di dermaga setiap orang yang datang dari berwajah begitu. Mungkin disana kurang makan atau kena malaria,”kenangnya.

Seorang memakai kaca mata, dari koper hijau yang dibawanya tertulis nama Drs. Mohammad Hatta. Sedangkan seorang lagi lebih muda dan kurus tersenyum. “Menghampiri saya, seraya bertanya dalam Bahasa Belanda, kamu anak sini?” Pertanyaan berikutnya, “kamu tahu di mana rumah dokter Tjipto Mangunkusumo?" Keramahan itu bukan basa-basi, Sjahrir selama di Neira menghabiskan waktu bermain,, mengajar dan bercandaria dengan anak-anak setempat.

Malam pertama di Neira Sjahrir, 25 dan Hatta, 35, menginap di rumah Mr. Iwa Kusuma Sumantri yang tak jauh dari dermaga. Esoknya, pindah ke rumah dokter Tjipto Mangunkusumo. Seminggu kemudian Hatta dan Sjahrir tinggal serumah. Menyewa dari de Vries, orang Belanda kaya pemilik perkebunan yang tinggal di Batavia. Harga sewa hanya 10 gulden, cukup murah, saat itu tahanan politik mendapat uang tunjangan untuk menyewa rumah tinggal, 75 gulden, tiap bulan, bagi yang belum kawin. Masih ada kelebihan.

Rumah yang berbatasan dengan penjara itu berhalaman cukup luas, tumbuh berjenis-jenis pohon buah ; mangga golek, sawo, dan jambu. Des ikut tinggal di rumah mereka pada akhir 1936 saat masuk sekolah dasar Eropa. Karena rumah itu hanya berjarak satu 100 meter dengan sekolah. “Saya menempati sebuah ruangan yang besar dan agak takut tidur di kamar itu. Namun Oom Rir—panggilan Des pada Sjahrir--
mengajarkan untuk tidak takut pada hantu, Katanya, hantu itu tidak ada,”ujar Des. Bukan hanya boleh tinggal, Sjahrir bangun pagi-pagi untuk menyiapkan bubur sarapan bagi Des.

Walaupun sama-sama orang buangan, tahanan politik penjajah Belanda, ternyata keduanya tak selalu cocok, Hatta lebih senang kesunyian, sedangkan Sjahrir senang mendengarkan musik klasik Beethoven, Mozart, dan Hayden melalui gramafon putar--akhirnya mereka berpisah rumah beberapa bulan kemudian. Des yang pernah ikut tinggal di rumah itu masih ingat, suatu hari Hatta menyuruhnya memindahkan alat putar piringan hitam itu agak jauh, karena merasa terganggu konsentrasinya. Sjahrir, menurut Hatta, ke-Barat-barat-an. Karena memindahkan gramofon Des ditegur Sjahrir, “kenapa dipindahkan?”
Des melaporkan Hatta yang menyuruh, bahkan menyebut Sjahrir westernized. “Saya ke-Barat-an ? Itu Hatta, dia mimpi saja dalam bahasa Belanda. Saya tahu,”katanya seraya mengomel.

Sejak tinggal bersama kedua tokoh politik Indonesia Des tak lagi menyelam untuk memburu uang logam. Sjahrir juga pernah menyatakan tidak suka anak angkatnya itu menyelam untuk memburu koin. "Kamu bukan pengemis!" katanya. Sjahrir sangat menyukai anak-anak. Menurut Willard A. Hanna dalam Kepulauan Banda, ada perbedaan yang nyata antara Sjahrir dan Hatta dalam berhubungan dengan anak-anak. “Sjahrir-lah yang mendekati anak-anak, sedangkan anak-anak berusaha mendekati Hatta.”

Setiap hari Minggu pagi sekitar setengah enam, Sjahrir sudah bercengkerama dengan anak-anak di laut sambil berlayar. Bahkan anak-anaklah yang mengajarkan kedua tokoh itu berenang. Pernah suatu waktu anak-anak mengerjai mereka. Kedua orang itu disuruh berpegangan perahu kole-kole, lalu ditarik ke tengah. Sjahrir dan Hatta gelagapan karena belum pandai berenang, sehingga hampir tenggelam, barulah diseret ke pinggir.

Biarpun begitu Sjahrir terkesan, dalam Renungan dan Perjuangan Sjahrir menulis: "Tiga jam lamanya kami berlayar cepat sekali karena angin cukup kencang. Kami berlayar di atas taman-taman laut, dan melihat matahari terbit sangat indahnya; kemudian kami kembali lagi ke pantai dan sehari-harian bermain-main dan juga bersantap siang di situ."

Sjahrir memuji keindahan pantai pulau seukuran dua kali tiga kilometer itu. Pantai Banda Naira, ditumbuhi pohon-pohon rindang yang besar dekat tepi laut. "Jadi di sini tidak perlu kursi-kursi pantai untuk melindungi diri terhadap matahari. Aku mandi dengan anak-anak di laut, kami berlayar, berenang-renang dan berdayung; empat jam terus-menerus kami berada di dalam air," tulisnya. Tak aneh jika kulit Sjahrir agak hitam terbakar matahari.

Banda Neira hanyalah salah satu pulau dalam Kepulauan Banda berukuran 40 mil persegi saat air pasang, yang terdiri dari enam pulau kecil, Saking kecilnya, di peta skala biasa hanya tampak seperti titik titik. Selain Neira, Lonthor atau Banda Besar, Run, Ai Rozengain, Pisang (Syahrir) dan Gunung Api, kepulauan dulunya penghasil pala dan fuli.

Sebagai tahanan politik Sjahrir, menurut Des punya pola hidup sehat, tidur tujuh jam setiap hari, pagi berjalan kaki hingga jauh, dan senam di kamar secara teratur. Sjahrir memuji kemolekan Banda. "Lautnya biru, bening, dan tenang. Saat cuaca baik, permukaan laut rata laksana cermin," tulisnya dalam surat kepada istrinya, 21 Mei
1936. Saking tenangnya, perairan antara pulau Banda Besar, Banda Neira, dan Gunung Api, menurut Sjahrir lebih mirip danau ketimbang laut. "Sangat cocok untuk berenang atau mengayuh sampan.”

Tak hanya hidup santai Sjahrir dan Hatta secara informal mengajarkan anak-anak Banda, mulai dari Bahasa Belanda, Inggris, Perancis dan Tatabuku. “Mereka ingin kami anak-anak Banda bisa melihat dunia lain yang lebih luas,”kenang Des. Sjahrir dan Hatta juga masih kerap berkirim surat kepada keluarga, kerabat dan kawan-kawan di luar Banda, bahkan sampai ke manca Negara. Keduanya juga menulis artikel untuk surat kabar berbahasa Indonesia dan Belanda.

Pandai bergaulnya Sjahrir menggugah seorang pemilik toko Cina, memberinya sebuah radio gelombang pendek untuk mendengarkan berita dari Eropa dan Amerika Serikat. Namun, informasi tentang keadaan dunia tak ditelan sendiri, setiap hari Sjahrir memberikan komentarkepada warga masyarakat mengenai situasi terkini. Saat itu Jepang sedang menyerang Pearl Harbour, Filipina dan Malaya.

Ketika Ambon diserbu tentara Jepang, sebuah pesawat terbang kecil Air Catalina milik Amerika Serikat mendarat di Banda. Sjahri dan Hatta hanya diberi waktu 15 menit untuk cabut dari surga itu. Dini hari 31 Januari 1942, disertai tiga orang anak keluarga Baadila ; Mimi, Lili dan Ali bergegas masuk dalam pesawat yang membawa mereka terbang ke Surabaya, Jawa Timur. Sehari kemudian langsung dikirim dengan kereta api ke Batavia dan diasingkan dengan penjagaan ketat di kompleks polisi Sukabumi, Jawa Barat.

Enam tahun dalam buangan di Banda, dalam Out of Exile, Sjahrir menyatakan; "tidak seperti dipenjara." Tak heran jika beberapa tokoh kolonial garis keras Belanda mengecam pemerintah, karena memindahkan “penjahat-penjahat licik” dari Digul ke Banda Neira, tempat berlibur orang-orang kulit putih yang ingin meraup rasa damai dan ketenangan. Memang jika terus berbuat sesuatu, waktu dan tempat tak bisa
membunuh kita. (***)

Tidak ada komentar: