Sabtu, Agustus 16, 2008

Maulwi Saelan : Bung Karno Minta, Dia Diadili

Memakai batik warna kuning, Haji Maulwi Saelan, sudah siap di depan meja di ruang kerjanya. Di kepalanya bertengger songkok rotan khas Sulawesi Selatan. Kolonel Purnawirawan Saelan, menerima TEMPO di rumah yang juga sekaligus kantornya. Dari rumahnya yang sederhana di Jalan Bendungan Jatiluhur, pucuk gedung MPR/DPR, Senayan, tampak jelas. Disana pula ketetapan-ketetapan MPRS yang dianggap menistakan Presiden Pertama, Ir.Sukarno, dibahas.
Hasilnya Sidang Tahunan MPR 2003 yang ditutup Kamis pekan lalu, rekomendasi dari Komisi Saran tentang Sukarno adalah menyerahkan kepada Presiden untuk merehabilitasi nama baik para pahlawan yang telah berjasa pada negara dan bangsa, termasuk Bung Karno. “Seharusnya ketetapan MPRS yang menyudutkan itu dicabut juga dengan ketetapan lembaga tertinggi negara itu,”kata bekas ajudan Presiden Sukarno itu.Mantan Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa itu menerima Ahmad Taufik dari TEMPO dan fotografer Budiyanto untuk wawancara. Inilah petikannya :


Bagaimana taggapan Bapak mengenai ketetapan-ketetapan MPRS yang isinya menyudutkan Bung Karno?
Ketetapan-ketetapan MPRS itu harus dicabut. Memang ada pendapat, bahwa nama Bung Karno sudah dijadikan nama lapangan terbang, istora, proklamator dan sebagainya, dengan fakta itu dianggap sudah direhabilitasi Bagi saya, tidak cukup, seharusnya ada ketetapan MPR, terserah caranya, langsung dicabut atau memberi perintah kepada Presiden untuk merehabilitasi nama Bung Karno. Tetapi, harus berdasarkan keputusan MPR bukan hanya diserahkan soal rehabilitasi itu kepada presiden.Tetap harus ada clearance, tak bisa dilepaskan begitu saja.

Kenapa sih anda begitu ngotot harus ada clearance?
Karena dalam, pasal 6 Tap MPRS No.XXXIII tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara Dari Presiden Sukarno, disebutkan penyelesaian secara hukum. Tapi nyatanya tak terjadi, Bung Karno tak dibawa ke pengadilan, tetapi ‘disimpan’ saja hingga meninggal dunia. Padahal Bung Karno ingin dia diadili, biar semua tuduhan yang menyangkut dirinya bisa dijelaskan di sidang pengadilan secara terbuka.

Apa benar Bung Karno minta di mejahijaukan?
Benar, Bung Karno berharap-harap persoalannya masuk ke pengadilan, tapi sudah tiga tahun sejak dicopot dari kekuasaannya, terus diusut, tapi nggak masuk-masuk ke pengadilan, Bung Karno berharap biar semuanya clear. Biar ada keputusan. Belakangan Bung Hatta juga minta begitu, tetapi tak dikabulkan. Di tunggu-tunggu sampai Bung Karno meninggal. Setidak-tidaknya dengan cara itu turut sengaja membunuh Bung Karno.

Jadi kalau ada keputusan harus dihapuskan dengan keputusan juga?
Ya, dong, harus disesuaikan dengan itu. Jangan dibiarkan begitu saja, kan, ironis sekali kan. Kalo itu berlaku, disebut einmalig, hanya berlaku sekali, terus tidak ada pencabutan, itu naif sekali, dimana moralnya, etis dan hati nurani kita. Kita akui dia sebagai pahlawan, proklamator, tetapi persoalannya tidak diclearkan. Orang yang dihukum (karena kriminal) saja, selalu ada suratnya. Ini persoalan yang besar, kok, tak ada keputusan apa-apa untuk menjernihkannya.

Kenapa sih MPR nggak mau mengeluarkan tap MPR untuk membersihkan nama Bung Karno?
Karena sampai sekarang masih banyak orang-orang atau kekuatan yang pada saat tap MPRS soal Bung Karno dikeluarkan, masih bercokol di MPR, tentunya, mereka merasa, kalau dikeluarkan tap MPR untuk memperbaikinya, berarti dulu mereka yang salah. Itu, kan sensitif sekali, saya bisa merasakan juga ke khawatiran mereka. Maka dari itu dicarilah satu solusi terbaik, win-win solution, dimana mereka (para antek orde baru) tak kehilangan muka, tapi tetap harus ada juga clearence. Entah dicabut, direvisi, diserahkan kepada pemerintah, tapi harus keluar dari TAP MPR. Sebab jangan menunggu kalau semua itu diungkit kembali, akan tampak kesalahan mereka.

Selain Tap MPRS soal pencabutan kekuasaan Sukarno, juga ada Tap MPRS soal Supersemar, menurut Bapak yang mana saja yang harus dicabut?
Semua itu memang berkaitan satu sama lainya. Soal Supersemar, itu kan, surat perintah untuk pengamanan bukan untuk penyerahan kekuasan. Surat perintah kok bisa dijadikan landasan hukum untuk dikeluarkan satu TAP MPR. Kemungkinan besar, diarahkan kesana, karena SK itu bisa saja dicabut setiap waktu. Nah, kalau dicabut, kan, Supersemar tidak ada. Dengan memegang surat perintah 11 Maret 1966, itu kan, Suharto membubarkan PKI. Kan, tak sesuai dengan perintah. Berarti itu insubordinasi (membangkang) nanti ditegur oleh Bung Karno. Disusul surat Bung Karno tanggal 13 Maret, yang menyatakan bahwa yang dilakukan Suharto beda dengan perintah Bung Karno, perintahnya hanya untuk keamanan dari Kepala Negara. Berdasarkan itu mau memberikan landasan hukum pada SP 11 Maret itu, padahal isinya bertentangan dengan yang sebenarnya. Pelaksanaan SP 11Maret juga tak sesuai. Yang dilakukan Suharto adalah mengambil alih kekuasaan. Padahal itu hanya surat perintah penugasan. Lalu kalau ada ketetapan MPR, kan, berdasarkan dokumen yang asli. Dokumen asli Supersemar ada nggak? Sekarangkan diragukan, yang aslinya nggak ada, dimana.

Bapak pernah lihat?
Ya, nggak, karena itu langsung diberikan kepada Suharto. Cuma saya masih merekam, saat surat itu dibacakan Roeslan Abdulgani di Radio Republik Indonesia. Tapi dokumen yang aslinya nggak kelihatan, sampai sekarang katanya hilang. Masak dokumen begitu pentingnya bisa hilang, kan, nggak masuk akal. Apalagi kemudian Tap MPRS, kok, mendasarkan keputusannya dengan surat yang tak jelas keberadaannya .

Jadi menurut bapak mana yang harus dicabut?
Saya tidak tahu prosedurnya. Tapi yang penting prinsip nya adalah meng- clearkan, dan rehabilitasi Bung Karno bahwa tidak terlibat dengan peristiwa 30 September itu. Bung Karno disangka terlibat sehingga harus diturunkan dari jabatan, dan harus diperlakukan secara adil melalui pengadilan, itu yang ditunggu oleh Bung Karno, supaya jelas. Tapi selama 3 tahun tidak jalan. Suharto tak berani berhadapan dengan Bung Karno. Kalau pengadilan menyatakan tak ada bukti terlibat, mau tak mau kekuasaan Suharto harus dihentikan saat itu juga. Itulah yang ditakutkan Suharto.

Kenapa sih TAP MPRS yang memojokan BK harus keluar saat itu?
Untuk mengambil kekuasaan dari Bung Karno. Sebelum diadakan Tap MPRS itu, diadakan perubahan anggota MPRS. Sehingga totally cenderung kepada pihak yang mengeluarkan Tap itu.

Apakah saat itu tentara masih menyatakan di belakang Bung Karno?
Benar, tentara masih di belakang mendukung Bung Karno, hanya MPRS saat itu mencari jalan agar semua yang dilakukannya legal sesuai konstitusi. Tapi, kemudian direkayasalah gelombang demonstrasi untuk pembenaran ketetapan MPRS yang diambil itu. Seperti mau cuci tangan.

Atau waktu itu ada tekanan?
Mungkin eksternal, karena Bung Karno dari dulu mengatakan untuk Indonesia, Asia Afrika, New Emerging Forces, jadi ada kekuatan lain yang tak suka dengan kampanye Bung Karno itu.

Kalau dari Tentara siapa yang menekan Bung Karno?
Suharto sebagai Kostrad

Bung Karno tahu tidak keadaan waktu itu?
Tahu. Cuma beliau mengatakan nggak mau, padahal waktu itu kata Bung Karno,”saya bisa mengadu kekuatan.” Karena dia yakin masih banyak pasukan yang mendukung dia. Bung Karno tahu kapal perang Amerika saat itu sudah berada di perairan dekat Indonesia. Kalau kita konflik, kontak akan pecah seperti Korea. Beliau tidak mau.


Apa dia pernah ngomong secara khusus kepada Bapak?
Ya. Pak Hartono dari Marinir datang ke istana mengajak Bung Karno ke Surabaya, dan dia siap mati-matian di belakang Bung Karno. Kalau Bung Karno ke Surabaya, lalu pecah perang antara tentara, penjajah datang, Amerika masuk. Pecahlah Indonesia. Tapi Bung Karno, hanya minta diantarkan ke Bogor.

Sebetulnya berapa dekat bapak dengan Bung Karno?
Biasa, beliau itu suka ngobrol. Apalagi sebagai ajudan, kami sebagai pengamanan, harus menjaga keselamatan beliau, like and dislike kami sudah kenal dia begitu dekat. Apalagi pada waktu beliau sudah mulai diisolir. Dilarang ada orang bertamu, ya, kami saja sebagai ajudan yang ngomong-omong dengan beliau. Makanya saya bisa cerita banyak dalam buku saya, kami ngobrol banyak dengan beliau

Sejauh mana isolir itu?
Tak boleh siapapun kecuali keluarganya.

Sejak kapan?
Mulai terasa sejak Supersemar. Ruang geraknya juga sudah dipersempit, tidak boleh lagi naik helikopter, kalau jalan hanya melalui darat. Hanya boleh ada di Jakarta dan setelah itu tak boleh keluar dari Bogor.

Keluarganya?
Keluarganya pun kalau mau datang harus punya izin, kalau mau ke Bogor juga sudah mulai ada izin. Izin semakin ketat saat Bung Karno tinggal di Wisma Yaso (sekarang jadi Museum ABRI Satria Mandala), kelauragnyapun tak boleh mengengok, tak boleh nonton televisi, membaca surat kabar, majalah atau bacaan lainnya.

Bagaimana perlakuan Suharto kepada Bung Karno waktu itu?
Perlakuannya kepada Bung Karno sangat kejam, saya sesali, apakah Suharto tahu atau tidak, saya tidak tahu, tetapi perlakuannya di lapangan begitu tak manusiawi. Sogol Djauhari Abdul Muchid, anggota polisi dari Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Presiden, menyaksikan bagaimana orang-orang dapur istana, tak memberikan nasi ataupun roti, saat Bung Karno minta sarapan. Mereka bilang tak ada nasi, roti juga tidak ada. Akhirnya Bung Karno minta izin pergi ke rumah isterinya hanya untuk sarapan. Sampai begitu perlakuannya.

Apalagi pengalaman yang buruk yang dilakukan terhadap Bung Karno?
Bung Karno, kan, sakit ginjal, bahkan sempat pingsan sebelum upacara 17 Agustus 1965. Kami, kan sudah tahu obat-obat apa dan program-program apa yang diperlukan untuk beliar. Apalagi sudah kami berikan pada tim dokter daftar obat-obatnya. Pada waktu kami tak ada lagi bertugas harusnya diteruskan, tetapi nyatanya tidak. Kami dengar kalau beliau sakit yang diberikan hanya obat flu, sedangkan yang paling penting itu obat untuk fungsi ginjalnya, tapi tak diberikan.

Harusnya siapa yang memberikan?
Ya, yang jaganya dia, yang menggantikan saya, karena saya kan dimasukkan ke dalam penjara.

Siapa harusnya?
Yang menggantikan kami, yang ajudannya Norman Sasono itu

Kembali ke peristiwa 30 September, Bung Karno dekat dengan para perwira muda yang memberontak itu?
Bung Karno itu itu dekat dengan Yani, dekat sekali, bukan sekedar dekat karena Yani, Kepala Staf Angkatan Darat. Tentu Bung Karno sebagai Panglima Tertinggi mendapat informasi-informasi, antara lain dari Yani. Soal dewan jenderal, Bung Karno juga dapat informasi pertama kali dari Yani. Dewan Jenderal itu ada dua versi, versi satu bilang untuk intern Angkatan Darat sendiri sebagai evaluasi kenaikan pangkat dan pemberian gelar, versi lain Dewan Jendral, ada jenderal-jenderal yang mau melakukan kup. Yani mengatakan kepada Bung Karno,“mereka-mereka itu (para tentara yang diisukan sebagai Dewan Jenderal) sudah di bawah tangan saya. Ndak usah kuatir.”

Akhir-akhir menjelang 30 September, hampir setiap hari, Kepala seksi satu, Kepala Staf I, MBAD Mayor S.Parman selalu berada di belakang di Istana Merdeka, di serambinya. Bung Karno selalu menemuinya, sekitar Jam 6 -7 pagi. Setiap hari ngomong dengan Bung Karno. Makanya, waktu kup itu beliau menjadi korban saya kaget juga

Kalau dengan Untung, Bung Karno dekat?
Ketemu Bung Karno paling satu dua kali saja. Satu kali pada waktu saya laporkan bahwa dia menjadi komandan batalyon dan kedua pada waktu Idul Fitri. Kan biasanya, kalau Idul fitri masing-masing penjaga istana datang bertemu Presiden, salaman.

Cuma dua kali?
Paling dua kali. Karena tidak semua bisa ketemu. Untuk masuk di Cakrabirawa, sebagai konsesus semua angkatan, semua yang dikirim tidak dites lagi, semua sudah clear, sudah steril dari angkatannya masing-masing. Yang seleksi angkatannya, kami tak seleksi lagi. Untuk angkatan darat, satu batalyon terdiri dari satu kompi Banteng Raiders.,Jawa Tengah. Yang dulu terkenal selalu ikut Yani, menumpas PRRI. Kemudian terjun ke Irian Barat dan disenangi oleh Pak Yani dan Pak Harto. Untung itu anak buah kesayangannya Pak Harto Sebelumnya ada Ali Ibram, nah, Untung dikirim itu menggantikan Ali Ibran menjadi Komandan Batalyon I. Di bawahnya ada 4 kompi, satu kompi Banteng Raiders. Banteng Raiders ini tidak semuanya bergerak. Cuma satu, peletonnya, Dul Arif, ada 60 orang.

Pada waktu sehari sebelumnya peristiwa 30 September itu, kan, ada acara Musyawarah Teknisi di Istora Senayan, Itu tugasnya batalyon satu, kompinya Untung. Saya masih ketemu Untung di sana, malah saya tegor dia karena satu pintu tidak terjaga, terbuka. Mungkin, ada anak buahnya yang sudah berada di Lubang Buaya, kali.

Bagaimana dengan kesaksian Bambang Widjanarko di depan Mahmilub soal secarik kertas yang diberikan Untung lewat Sogol kepada Bambang Widjanarko?
Itu bohong, omong kosong, kenapa BambangWidjanarko bisa begitu ya. Itu direkayasa, tak ada pemberian kertas itu, Sogol juga bilang pada saya tidak ada. Saya pernah tanya dengan Bambang Widjanarko, kenapa kok bisa begini, kenapa dia omong kosong, Bambang Widjanarko hanya diam saja.

Pada saat yang dikatakan Bambang menyerahkan surat itu anda dimana?
Oo, saya bersama Bung Karno, di belakangnya, di sebelah Bung Karno itu ada Leimena.

Bagaimana ceritanya menjelang G30S?
Acara di Istora senayan, tanggal 30 September 1965, mulai pukul delapan malam sampai pukul 23.30. saya sebagai wakil Komandan Resimen Tjkarabirawa mendampingi beliau pulang ke Istana Merdeka. Sampai pukul 24.00 setelah melapor ke presiden saya meninggalkan istana kembali ke rumah saya di Kebayoran baru, Jakarta Selatan. Rupanya, Bung Karno pergi lagi ke Hotel Indonesia menjemput Ibu Dewi, tapi saya sudah tak bersama beliau lagi, itu sudah tugasnya Mangil, DKP.

Jam berapa bapak tahu kejadian penculikan dan pembunuhan para Jenderal itu?
Paginya, sebelum subuh saya dapat telepon dari ajudan yang satu dari polisi, Sumirat yang mengatakan ada penembakan di rumahnya Pak Nasution dan Pak Leimena. Saya bilang, Ok, deh, saya cek. Terus dia telepon lagi bahwa bukan ditempatnya Leimena, tapi di tempatnya Nasution. Saya mau cek ke istana, putus Kemudian saya pikir,Bung Karno itu kalau tidak ada di istana ada di tempat Dewi, di Wisma Yaso, kalau tidak ada di Slipi, tempatnya Haryati (dekat Hotel Orchid). Pukul 05.30, Saya langsung ke menuju Slipi untuk mencari Bung Karno. Baru keluar halaman rumah, bertemu dengan voorijder anak buahnya Mangil. Saya Melalui radio transmitternya voorijeder tadi saya kontak Mangil, dimana dia berada. Ternyata Mangil bersama Bung karno dari rumah Dewi menuju Istana, saat itu sudah berada di Air Mancur, dekat jalan Budi Kemuliaan, saya bilang jangan terus (ke istana) ke Slipi saja ke tempatnya Haryati, karena di sekitar istana ada tentara yang tidak dikenal, tanpa identitas jangan masuk.

Bapak tahu ada tentara tanpa identitas dari mana?
Dari Sumirat

Tanpa identitas maksudnya?
Ya, tak ada tanda-tanda dari kesatuan mana, hanya pakaian hijau saja.

Sekitar pukul 06.30 (tanggal 1 Oktober 1965), Bung Karno sampai ke rumah Haryati, lalu kami omong-omong soal kondisi. Terus, kami kontak dulu angkatan-angkatan. Tak ada yang bisa di kontak, lalu saya kirim Letnan Suparto untuk mencari hubungan. Kebetulan mendapat hubungan dengan Pak Omar Dhani. Pak Omar Dani kan panglima angkatan udara, kita punya SOP untuk keamanan presiden, kalau via darat adalah tank, panser, kalau via laut ada Varuna, kalau via udara ada jet star semuanya harus siap. Karena yang bisa di kontak Panglima AU, kami arahkan Bung Karno dibawa ke sana, Pak Omar Dhani, sedang berada di Pangkalan Udara Halim.

Siapa yang mengusulkan ke Halim?
Itu, karena itu prosedur kita. Bung Karno juga tahu pada saat itu, karena yang bisa dikontak adalah Pak Omar Dhani. Sebelumnya kami juga sudah siapkan rumah di Jalan Wijaya, tempat kenalannya Mangil, tetapi karena merasa paling aman, karena ada pesawat yang bisa stand by untuk menyelamatkan Presiden, ya, kami bawa ke Halim. Karena kami tidak tahu sama sekali situasi saat itu. bagi kami pasukan pengawal presiden, yang penting save-nya dulu. Itu tugas utama kami.

Lalu rombongan pembawa Presiden Sukarno berangkat ke Halim dengan mobil. Bung Karno, di dalam mobil bersama ajudannya Sumirat, Mangil di mobil depan dan saya berada di mobil belakangnya. Sampai di Halim pukul 07.30. Sebenarnya kami ingin langsung ke Jet Star, rupanya di ruangan komando operasi Halim, sudah menunggu Pak Omar Dhani dan Leo Watimena. Kami berhenti dan masuk kesana.

Pada waktu itu sudah tahu ada pembunuhan jenderal di Lubang Buaya?
Baru diceritakan dan di laporkan ada pembunuhan disitu, yang melaporkan Omar Dhani. Lalu datang Brigjen Supardjo, yang membawa helikopter mencari-cari Bung Karno, dicari ke istana, lalu dia tahu Bung Karno ada di Halim. Disana dia minta petunjuk Bung Karno. Tapi Bung Karno menahannya, tunggu semuanyanya jangan bergerak, nanti saya ambil over semuanya. Bung Karno minta jangan ada pertempuran. Supardjo kecewa tak bisa berbuat apa-apa lagi, menurut apa yang dikatakan Bung Karno.

Soal Dewan jenderal, Bambang Widjanarko di depan Mahmilub bilang ada pertemuan Tampak Siring yang dihadiri Leimiena, Chairul Saleh dan sejumlah menteri lainnya, yang merayakan ulang tahun Bung Karno dan sempat membicarakan soal Dewan Jenderal?
Itu omong kosong, biasanya kalau kami ke Tampak Siring itu kalau ada tamu atau kalau istirahat. Waktu saya ditahan, saya ketemu panglima di Bali di tempat tahanan, dia juga ditahan karena tuduhan yang sama mengetahui pertemuan Tampak Siring. Itu bener-bener ngomong kosong. Saya juga heran, sewaktu ditanya oleh penyidik soal pertemuan itu, saya bilang nggak ada. Tidak ada pertemuan itu sama sekali. Padahal Bambang itu paling deket dengan Bung Karno, saya heran dia omong yang nggak-nggak dan jadi pembenaran untuk menyudutkan Bung Karno.

Siapa saja ajudan yang paling dekat dengan Bung Karno waktu itu?
Sabur, Wijanarko dari Angkatan Laut, Sumirat Kepolisian, Saya dari Angkatan Darat dan Kardono pilot Helikopter dari Angkatan Udara

Setelah tak lagi bertugas di Istana?
Saya kembali ke CPM

Saat masih menjadi ajudan sampai 1967, Maulwi Saelan dipanggil untuk dimintai keterangan oleh Kopkamtib, tapi rupanya bukan sekedar dimintai keterangan. Maulwi di tahan di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta Pusat, selama 4 tahun 8 bulan, setahun menjelang bebas di karantina di kamp konsentrasi di dekat Taman Mini. Lalu dipulangkan tepat ke rumahnya di Jalan Bendungan Jatiluhur (tempat wawancara ini) dengan bis mini.

Tak lama kemudian dipanggil KSAD, Makmud Murod, ke Markas Besar AD. Lalu saya dipanggil oleh KASAD di MBAD, Makmun Murod, namanya direhabilitir dan diberikan tanda penghargaan jasa-jasa. “Tanda jasa apa,”kata Maulwi tertawa getir.

Sudah selesai tugas anda sebagai tentara, kata Makmun Murod, pensiun nggak boleh dirapel. “Kalau dapat, ya lumayan juga, tapi, ya, sudahlah yang penting bebas,”kata Ketua Yayasan Syifa Budi, pemilik Sekolah Islam Al-Azhar Kemang

Menurut anda apa yang terjadi sebenarnya saat itu?
Merebut kekuasaan, siapa yang berada di atas. Untung itu komandan, bagus teknisnya, tetapi intelektualitas kurang, dia bisa diombang-ambingkan. Dia tidak pikir panjang apa yang dia lakukan. Dia akan turut Suharto, karena Suharto dekat dengan dia. Dia tidak tahu bahwa yang dia lakukan saat itu insubordinasi, menjatuhkan pemerintahan yang sah, itu pemberontakan. Katanya membela Bung Karno, membela Bung Karno apa? Bung Karno, itu, kan, kepala pemerintahan. Yang dia lakukan justru, menjatuhkan Bung karno.

Memang, saat itu sedang terjadi persaingan di tubuh Angkatan Darat. Mereka yang ingin berkuasa terhalang oleh Yani. Yani sebenarnya dekeat dengan Bung Karno, dan yang direncanakan Bung Karno memimpin tentara. Suharto dan beberapa orang di bawahnya kurang klop ke Yani. Jenderal Ahmad Yani lebih ke Amerika Serikat pemikirannya, lebih bebas, tetapi dia setia kepada Bung Karno. Kalau Suharto itu mau dipecat tetapi dipindahkan oleh Bung Karno, sekolah ke Seskoad, Bandung. Lalu dipindahkan ke Kostrad. Kostrad itu dulu kan, tentara cadangan, tidak berfungsi seperti sekarang sangat menguasai.


Maulwi Saelan,
Lahir di Makasar 8 Agustus 1926
Ayah dari 6 anak.
Pendidikan :
Frater School Makassar, HBS Makassar, Tokubetsu Tjugako, SMA C Makassar, Physical Security, The Provost Marshal General’s School, Fort Gordon-USA

Karir :
Sebelum kemerdekaan sampai kemerdekaan RI sebagai Pemimpin harimau Indonesia dan Pimpinan laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi
1949-Letnan Satu Polisi Militer TNI AD, Yogyakarta
1949-Perwira POM Komisi Militer Teritorial Indonesia
1951-Komandan Detasemen CPM, Bandung
1952-Komandan detasemen CPM, Purwakarta
1953-Komandan Detasemen CPM Makassar
1954, Wakil Komandan Batalyon VII CPM, Makassar
1962-Komandan POMAD PARA
1962-Komandan POMAD TJADUAD/MANDAL/TRIKORA, Makassar
1962-Kepala Staf Resimen Tjakrabirawa, Jakarta
1963- Pangkat Kolonel, wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa
1966- Ajudan Presiden RI Bung Karno

Lainnya :
Penjaga gawang, kapten kesebelasan nasional Indonesia (PSSI), pada Asian games di New Delhi, Tokyo, Olympic Games di Melbourne 1956, Juara Asia pra Fifa 1958, Ketua PSSI 1964-1967
Mengarang buku Sepakbola tahun 1970
Buku “Dari Revolusi ’45 Sampai Kudeta ’66 : Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa” tahun 2002.

Mencuci Dosa Sang Proklamator

Sidang tahunan MPR 2004 hanya ajang untuk mencuci dosa Sukarno. Apa saja dosa yang dibersihkan?

Pekan ini Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat (MPR/DPR) mendapat tambahan gelar baru, tukang cuci. Bukan cuci baju atau piring, tetapi mencuci dosa-dosa. Bukan pula sembarang dosa yang dicuci, dosa pendiri republik ini, sang proklamator, Presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno.

Bung Karno, dianggap berdosa karena melindungi para tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), yang diduga dalang pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira militer pada peristiwa 30 September 1965. Presiden Sukarno, tak menyebut-nyebut kesalahan atau mengutuk PKI dalam pidato kenegaraannya pada 22 Juni 1966 di hadapan sidang umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang kemudian dikenal dengan Nawaksara. Pidato tersebut dianggap tak menjawab persoalan dan pertanggung jawaban presiden atas peristiwa 30 September 1965,dan kebangkrutan ekonomi yang tengah terjadi.

Rasa tidak puas para anggota MPRS hanyalah jalan untuk menekan Sukarno meletakkan jabatannya. Lalu keluar Keputusan MPRS no.5 tahun 1966 yang meminta Bung Karno melengkapi pidatonya. Pada 10 januari 1967, Presiden Sukarno kembali memberikan pidato di depan anggota MPRS di Istana negara, Jakarta dengan judul Pelengkapan Pidato Nawaksara.

Isinya, Bung Karno menyatakan G-30-S adalah kebelingeran pempimpin PKI, dan mengutuk Gestok (Gerakan Satu Oktober). “Sudah terang Gestok kita kutuk. Dan, saya mengutuknya pula. Dan Sudah berulang kali pula saya katakan dengan jelas dan tandas, Yang bersalah harus dihukum! Untuk itu kubangun Mahmilub (Mahkamah Luar Biasa),”tegas Presiden Sukarno.

Bung karno menghindar dari tanggung jawab terjadinya peristiwa 30 September 1965 itu. “Kenapa saya saja yang diminta pertanggung jawaban atas terjadinya G-30-S atas yang saya namakan Gestok itu? Tidaklah misalnya Menko Hankam (waktu itu Jenderal A.H.Nasution) juga bertanggung jawab?”katanya.

Soal kebangkrutan ekonomi dan kemerosotan akhlak yang dituntut MPRS, Bung Karno juga tak mau dipersalahkan. “Adilkah saya sendiri disuruh bertanggung jawab atas kemerosotan ekonomi? Keadaan ekonomi suatu bangsa atau negara bukanlah disebabkan oleh satu orang saja, tetapi adalah satu resultante dari pada proses faktor-faktor obyektif dan masyarakat.”

“Mengenai soal akhlak perlu dimaklumi bahwa ahklak pada suatu waktu adalah hasil perkembangan dari pada proses kesadaran dan laku tindak masyarakat dalam keseluruhannya, yang tidak mungkin disebabkan oleh satu orang saja,”Sukarno.

Setelah pidato Pelengkapan Nawaksara itu, MPRS bersidang dan pada 12 Maret 1967 mengeluarkan ketetapan No.XXXIII/1967 yang mencabut kekuasaan Presiden Sukarno dan menyerahkan kekuasaan pada Suharto secara sepenuhnya. “Oleh BP-MPRS dinilai Presiden Sukarno enggan memenuhi pertanggungjawaban konstitusional. Presiden telah tidak dapat menjalankan haluan dan putusan MPRS sebagaimana yang diatur oleh UUD 45,”ungkap Nasution dalam buku terbitan PDAT Jenderal Tanpa Pasukan Politisi Tanpa Partai.

Presiden Sukarno, memang tak bisa disalahkan soal peristiwa 30 September 1965. Karena justru akibat peristiwa itu kekuasaan Bung Karno terancam. Belum jelas benar dalang dari peristiwa itu. Kalau ditarik ke belakang, peristiwa 1965, sebenarnya bermula dari tahun 1957, ketika demokrasi parlementer di Republik Indonesia hancur, terjadi pemberontakan di berbagai daerah lalu diberlakukannya hukum darurat militer sebagai jalan tengahnya dengan Nasution sebagai komandanya. Pada tahun 1959, Presiden Sukarno membentuk pemerintahan otoriter yang disebut sebagai demokrasi terpimpin dengan mengeluarkan Dektrit Presiden 5 Juli 1959. Parlemen hasil pemilihan rakyat diganti oleh dewan legislatif (DPR-GR) yang anggotanya ditunjuk, dan kekuasaan eksekutif pemerintah bertambah besar.

Selain itu, menyusul diberlakukannya hukum militer di tahun 1957, Angkatan Darat memperluas pengaruhnya dan melibatkan diri dalam urusan politik dan ekonomi. Banyak perwira Angkatan Darat di daerah memegang kekuasaan yang tak bisa diganggu gugat. Berbagai macam perusahaan Belanda di nasionalisasi di tahun 1958, ditempatkan di bawah kekuasaan angkatan darat.

Satu-satunya kelompok yang berani menentang kekuasaan Angkatan Darat saat itu adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Demokrasi terpimpin telah menghilangkan kesempatan PKI, padahal partai itu pada pemilihan umum tahun 1955 mendapat 16,4 persen dari jumlah suara), untuk menunjukkan kekuatan yang makin besar dalam Pemilu berikutnya. Menjelang tahun 1965, jumlah anggota melebihi tiga juta orang. Selain itu, organisasi-organisasi massa di bawah PKI mempunyai anggota lebih dari 10 juta orang. PKI mempunyai jumlah anggota yang paling besar diantara partai-partai komunis di luar blok Sovyet dan Republik Rakyat Cina.

Karena Hubungan pimpinan Angkatan darat dan PKI tak harmonis, walaupun mereka bekerjasama di bawah Presiden Sukarno. Sementara itu di beberapa daerah terjadi pertentangan-pertentangan yang amat tajam dan terjadi konflik antara kaum komunis dengan angkatan darat. Komite-komite partai komunis dilarang dan para pemimpinnya ditahan oleh militer. Presiden Sukarno saat itu seperti sedang menjalankan manajemen konflik, dia PKI untuk mengimbangi kekuatan Angkatan Darat.

PKI mengecam pengelolaan ekonomi oleh militer. Hubungan antara Angkatan darat dan PKI semakin tegang, ketika PKI mengusulkan dibentuknya angkatan kelima yang terdiri dari para petani dan buruh bersenjata untuk perang melawan Malaysia, disamping satuan-satuan militer resmi yang ada. Puncak ketegangan hubungan itu akhirnya meletus pada 1 Oktober 1965.

Saat itu sekelompok perwira muda yang dipimpin Letnan Kolonel Untung menculik dan menembak mati enam perwira tinggi serta seorang perwirang menengah. Untung, Komandan Batalyon Cakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Presiden Sukarno juga yang mengumumkan di Radio Republik Indonesia, bahwa dirinya telah mengambil kekuasaan Angkatan Darat dari para jenderal yang tergabung dalam Dewan Jenderal.

Isu Dewan jenederal Yang paling mendekatkan kepada Sukarno hanyalah hasil laporan pemeriksaan Kopkamtib terhadap Bambang Widjanarko, mantan ajudan Bung Karno. Dalam laporan itu, Widjanarko menyebutkan pertemuan Tampak Siring, Bali pada hari ulang tahun BK ke-64 bulan Juni 1965. Dalam acara yang dihadiri oleh beberapa Menteri Koordinator, seperti Leimena, Chairul Saleh, Subandrio dan beberapa orang lainnya,disinggung tentang adanya jenderal yang loyal dan tidak loyal terhadap Sukarno. Dalam laporan itu dikesankan seolah-olah terdapat “skenario Tampak Siring” untuk menyingkirkan para perwira tinggi yang tidak loyal tersebut. (lihat Kolom Asvi Warman Adam). Selebihnya, para petinggi militer hanya mendengar mengenai Dewan Jenderal, sebatas isu saja.

Jika membaca buku Kesaksian tentang Bung Karno yang diungkapkan Letnan Kolonel Polisi Mangil Martowidjojo, tak ada perencanaan yang diketahui Bung Karno pada hari H-nya. Karena Mangil yang memandu mobil yang membawa Bung Karno saat menuju Istana dan membatalkannya, setelah singgah ke berbagai tempat, keputusan akhirnya diambil untuk pergi ke Lapangan Udara milik TNI AU, Halim Perdanakusuma. “Kepergian saya ke Pangkalan udara Halim pada 1 Oktober pagi-pagi atas kehendak saya sendiri. Karena saya berpendapat bahwa tempat terbaik bagi saya adalah tempat dimana kapal udara dapat mengangkut saya setiap saat ke tempat yang lain, kalau terjadi sesuatu yang tidak diharapkan,”kata Presiden Sukarno.

Yang justru patut dicurigai adalah Suharto. Karena para perwira pelaku peristiwa 30 September itu dikenal dekat dengan Suharto. Menurut Kolonel A.Latief, Suharto pernah menghadiri pernikahan Unutung di Kebumen, karena Untung adalah bawahannya di tentara. Dua hari sebelum kejadian, Komandan Brigade Infanteri I Kodam Jaya Kolonel Latief bersama isterinya datang ke rumah ke diaman Panglima Kostrad Suharto di Jalan Agus Salim, Jakarta, untuk memberitahu soal rencana kudeta Dewan Jenderal. Bahkan beberapa jam sebelum penculikan para perwira tinggi, Latief juga melapor soal pasukan yang akan bergerak. Saat itu Suharto tengah menunggui Hutomo Mandala Putra alias Tommy yang sedang sakit ketumpahan sup panas di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Tapi Suharto cuek aja.

Menurut sejarawan dari lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, sejumlah ketetapan MPRS yang menghina Sukarno pantas dicabut, pencabutan juga berdimensi kemanusiaan terkait ketetapan tentang pembubaran PKI. “Jutaan orang teraniaya karena ketetapan itu,” kata Asvi. Pada masa pemerintahan Orde Baru, yang beredar dan boleh diketahui masyarakat hanya satu versi sejarah mengenai percobaan kudeta itu yaitu komunis berada di balik peristiwa tersebut. Sukarno diturunkan karena tidak mau mengutuk PKI. “Namun belakangan ini semakin banyak versi yang sudah diketahui umum yang berbeda dengan tafsir rezim Orba, seperti campur tangan pihak asing CIA, konflik intern Angkatan Darat, sampai keterlibatan Sukarno dan “kudeta merangkak” Suharto,”ujar Asvi kepada Jobpie Sugiharto dari TEMPO News Room.

Soal pencabutan Tap MPRS untuk merehabiltasi nama Sukarno, diduga bakal mulus. Tapi tak ada ampun, bila Tap MPRS mengenai komunis juga dicabut. “Kalau rehabilitasi nama Sukarno, boleh, tapi kalau komunis NO. Kalau dipaksakan kami akan bergerak menentangnya,”kata Ketua Gerakan Pemuda Islam, Khoeruddin Amin. Menurut kandidat Master Hukum dari Universitas Islam Bandung, komunis hanya bisa hidup dari kehidupan yang anti demokrasi, seperti di Cina, Rusia atau Kuba. “Jadi jangan harap bisa hidup juga di Indonesia,”katanya.

Ahmad Taufik

Propaganda AS ; Membujuk Muslim Kembali

Pemerintah Amerika Serikat memasang iklan propaganda kehidupan beragama di negeri itu. Usaha membujuk pandangan muslim dunia terhadap AS yang dianggap memusuhi Islam. Siapa dapat untung?

Bisnis tak mengenal ideologi. Paham boleh berbeda, tetapi uangnya bisa diterima. Sebuah majalah yang meneguhkan diri sebagai majalah Islam pada penerbitan akhir Bulan Ramadhan, dalam sampulnya berjudul “Menguak Propaganda Amerika”. Namun, di bagian dalam, tak malu-malu memasang iklan propaganda itu.

Iklan propaganda yang menggambarkan sebuah kisah kehidupan muslim di Amerika. Cerita tentang seorang guru muslimah asal Lebanon yang mengajar di sekolah umum dan agama Islam di Ohio. Propaganda yang sama juga dimuat majalah, Koran dan televise lain yang tak meneguhkah paham tertentu dalam penerbitannya.

Memang masyarakat Indonesia menjelang dan selama bulan puasa seperti dijejali iklan propaganda dari Amerika itu. Mulai dari Koran, majalah sampai televisi. Iklan yang ditayangkan ada lima jenis, tentang guru muslimah tadi, imigran penjual roti asal Libya, para medis yang bertugas di Pemadam Kebakaran New York, wakil dekan Fakultas Kedokteran dan mahasiswi Indonesia yang mengambil kuliah penyiaran di Misouri, Columbia.

Menurut seorang pegawai di Agency Mckan Erickson, agensi periklanan yang memasarkan propaganda ini, hampir semua televisi swasta mendapat iklan propaganda itu. “Kecuali Indosiar, TV 7 dan Lativi,”katanya. Sedangkan media cetak yang kebagian untung : Kompas, Republika, Media Indonesia, Pelita, Suara Karya, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Rakyat Merdeka, Pikiran Rakyat, Suara merdeka, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Waspada, Sumatera Ekpres, Lampung Pos, Singgalang, Riau Pos, Banjarmasin Pos, TEMPO, Fajar, Serambi, SABILI, Panjimas dan Pantau. Pemilihan media massa, menurut sumber di Mckan itu, berdasarkan coverage area media tersebut. ‘’Tadinya kami mau di media nasional saja yang penting mengena ke muslim, tetapi rupanya pertimbangan kami perlu juga media yang terbit di daerah, agar lebih mengena,’’ujarnya.

SCTV salah satu televisi swasta sampai menayangkan iklan propaganda itu 2 sampai 3 kali sehari. Menurut jurubicara SCTV, Budi Darmawan, agensi pemilik produk iklan itu yang datang menawarkan. “Selama Bulan Ramadhan ini memang bisa sampai tiga kali penayangan sehari. Tergantung mereka, bagi kami pokoknya selama mereka mau beli air time, kami tayangkan,”ujar Budi.

Tayangan untuk televisi ada dua durasi yaitu 60 dan 120 detik dengan bayaran sekali tayang Rp 6 juta sampai Rp 24 juta. Sedangkan untuk media cetak menghabiskan biaya hampir empat miliar rupiah. Menurut jurubicara Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Stanley Harsha, Departemen Luar Negeri AS mengeluarkan dana 15 juta US dolar untuk iklan propaganda itu.

Menurut Stanley, ide iklan propaganda itu muncul secara alami, setelah berdialog dengan kelompok-kelompok masyarakat muslim. “Kami menyadari idealnya semua orang bisa ketemu dan berdiskusi, sehingga bisa mencapai pemahaman bersama. Tapi, kan, tak mungkin mengundang jutaan orang untuk datang ke rumah duta besar. Jadi kami memilih menggunakan cara iklan semacam ini,”katanya.

Rentetan peristiwa pasca 11 September 2001, menurut Stanley membuat pemerintah AS sadar bahwa harus menjelaskan kepada dunia posisinya. “Kami harus banyak melakukan dialog dengan dunia luar, terutama komunitas muslim. Apalagi komunitas muslim Indonesia punya perasaan nggak enak (bad feeling) terhadap kami, orang Amerika,”ujar Stanley. Karena itu pemerintah AS lebih ingin mendengar pihak lain, daripada bicara sendiri dan merasa paling benar. “Pada saat yang bersamaan, kami ingin juga agar mereka mendengar dan memahami Amerika. Kami ingin semua happy,”kata Stanley merendah.

Menurut pakar komunikasi dari Universitas Indonesia, Ade Armando, iklan propaganda yang dilakukan pemerintah AS itu adalah diplomasi dalam bentuk lain. “Slogan mereka itu winning heart and mind, memenangkan hati dan pikiran orang agar bersimpati,”ujar Ade kepada Nunuy Nurhayati dari TEMPO News Room. Upaya itu, memang lazim dilakukan AS untuk membangun sekutunya.

Karena itu, menurut Ade, yang aktif di The Habibie Centre, sasaran iklan itu kepada kalangan yang sudah moderat sikapnya terhadap Amerika. “Sebab, kalangan Islam yang moderat itu juga merasa gusar dengan yang dilakukan Amerika akhir-akhir ini,’’ujarnya. Tetapi, propaganda itu, menurut Ade tak ada artinya bagi kalangan radikal di Indonesia. “Untuk, yang garis keras, kampanye itu sih memang tidak akan ada artinya sama sekali. Karena sudah terbentuk persepsi Islam di kalangan Islam garis keras di Indonesia mengenai Amerika, yaitu musuh Islam,’’kata Ade.

Ahmad Taufik, Rommy Fibri dan Purwanto

Hakim Asep Iwan Iriawan : Naik Angkot, Hilangkan Jejak

Profesi hakim rentan suap dan ancaman. Hakim Asep yang memvonis mati lima terdakwa kasus heroin, memilih naik angkutan umum untuk menghindari ancaman dan tak mau menerima tamu di rumah agar setan suap tak mampir.

Penembakan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita oleh orang-orang Tommy Soeharto saat mau ke kantor membuat Hakim Asep Iwan Iriawan, harus mengubah jadwal pergi dan pulang dari kantornya. ‘’Kami hakim di Jakarta Pusat takut dan berhati-hati, bagaimanapun profesi hakim rentan dari ancaman,’’kata Asep. Ia mengaku belajar dari ayahnya, Abidin Sukarjo, pensiunan tentara dari kesatuan Kodam Siliwangi, Jawa Barat.

Hakim Asep tak pernah meninggalkan jejaknya selama perjalanan pulang dari kantor. Kendati pulang menggunakan angkutan umum ataupun diantar rekannya, tak pernah sampai di depan rumahnya. Ia turun di jalan dan memilih untuk berjalan-jalan lebih dulu. Sehari-hari pada waktu kerja pria berkaca minus bulat bening itu berangkat dari rumahnya saat matahari baru nongol dari ufuk timur, pukul enam pagi. Berjalan kaki, menuju halte di depan bekas perkulakan Goro, di Jalan Raya Pasar Minggu, lalu naik metromini menuju Tanah Abang. Setelah itu berganti lagi mikrolet jurusan Kota, dan turun persis di depan kantornya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada. Sebenarnya Asep punya mobil Escudo , tetapi mobil itu diberikan kepada adiknya. ‘’Saya tak bisa menyetir,’’ujarnya.

Itu bukan alasan sebenarnya, ia tak mau terlacak. Ikuti saja, kalau pulang Asep memilih jalur lain, rutenya pun berubah-ubah tiap hari. Ia bisa jalan-jalan dulu ke Blok M Mall, Pasar Minggu atau pusat perbelanjaan lainnya. Kalaupun ia memilih pulang menumpang kendaraan temannya sesama hakim, tak pernah mau diantar sampai depan rumah. Karena itu ia menolak diikuti atau memberitahu alamat rumahnya pada Eduardus Karel Dewanto dari Tempo News Room. ‘’Saya jangan diikuti dan profil saya jangan ditulis,’’kata pria yang lahir di Bandung 10 Juni 40 tahun yang lalu

Kebiasaan itu dimulai setelah Hakim Asep bersama Satria US Gumay dan Prim Haryadi yang pernah dikenal sebagai ‘tiga serangkai’ memvonis hukuman mati terhadap lima terdakwa pengedar heroin di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten. Tiga terdakwa terakhir adalah orang Indonesia ; Meirika Franola atau Ola, yang membawa 3.600 gram heroin, Rani Andriani alias Melisa Aprilia pemilik 3.500 gram kokain dan dan Deni Setia Maharwan alias Rapi Mohamed Majid pembawa 3.000 gram kokain. ‘’Ola itu adalah perempuan Indonesia pertama yang dihukum mati dalam kasus narkotika,’’kata Asep. Sebelum itu dua orang lelaki berkebangsaan Nepal yang juga kena palu ‘mati’ Hakim Asep, yaitu Nar Bahadur Tamang dan Bala Tamang, keduanya masing-masing membawa 1.750 gram heroin

Namun, bukan berarti Asep takut dalam menjalankan tugasnya, untuk memutuskan perkara seadil-adilnya berdasarkan hati nurani. Walaupun dari palunya, saat menjadi hakim di Pengadilan Negeri Tangerang, sudah mengantarkan orang ke juru tembak. Menurut Asep timnya, majelis hakim yang memutuskan perkara terdakwa pengedar heroin itu sudah memikirkan masak-masak. ‘’Secara yuridis, mereka terbukti bersalah selama persidangan. Secara filosofis harus dihukum, karena kesalahannya berat hukumannya juga harus berat, hukuman maksimal yang bisa dijatuhkan oleh hukum kita adalah hukuman mati. Karena itu kita matiin aja. Lagipula itu sesuai dengan kehendak masyarakat,kan yang ingin hukuman seberat-beratnya pada pengedar narkoba,’’katanya. Sayangnya semua terpidana mati, diubah menjadi hukuman seumur hidup oleh hakim agung di tingkat kasasi, Mahkamah Agung.

Reputasinya sebagai hakim anti narkotika dan obat terlarang mengantar Asep menjadi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kiprahnya pun lantas melejit sebagai hakim pengadilan umum dan niaga. Ia pernah memutus perkara kepemilikan senjata dengan terdakwa Hutami Endang Adiningsih alias Mamiek, puteri bungsu mantan presiden Soeharto. Ia juga memutus perkara kepemilikan narkoba dengan terdakwa aktor Hengki Tornando, perkara korupsi yang Hendra Raharja dengan peradilan in absentia, perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan terdakwa Gubernur Syahril Sabirin dan Direktur Utama Bank Surya, Bambang Sutrisno.

Dalam kasus peradilan in absentia Hendra Rahardja yang kabur ke Australia, Hakim Asep bahkan mengusir pengacara O.C.Kaligis. Akibatnya Kaligis mengirim surat melaporkan tingkahnya ke Mahkamah Agung. ‘’Biar saja dia melapor, MA tahu kok yang mana yang salah yang mana yang benar,’’katanya. Memang, surat Kaligis tak berbunyi menghadapi Hakim Asep, karena MA tak mempersoalkannya.

Tapi sejak menangani kasus-kasus perbankan di PN Jakarta Pusat tak urung ia diisukan makan uang suap Rp 30 miliar dari Bambang Sutrisno. Namun, tak ada bukti dan tak ada yang mempercayainya. ‘’Nggak mungkin dari sejak kuliah saya tahu Asep orangnya jujur dan tegas,’’kata seorang kawannya sesama hakim. Asep juga membantah isu itu, “Kalau saya menerima, saya rela dihukum seumur hidup.”

Hakim Asep pun menganggap tudingan itu tak sesuai dengan langkah yang ia lakukan terhadap perkara-perkara itu. Bila tak bersikap tegas, tak akan mengganjar hukuman seumur hidup bagi Hendra Raharja dan hukuman mati bagi pengedar narkoba. “Saya sudah melakukan itu, ngapain saya harus menerima uang sebesar itu,’’ katanya. Hakim Asep juga merahasiakan rumah dinas yang ditinggalinya. Ia punya Komitmen tak menerima tamu di luar jam kerja, apa lagi di rumahnya. ‘’Rumah hanya tempat untuk istirahat. Selain di kantor saya tidak pernah menerima tamu. Bahkan ibu saya belum pernah menginjakkan kakinya di rumah saya,”ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan , Bandung. Kenapa? “Saya takut dituduh macam-macam kalau menerima tamu di rumah. Sekarang kan tudingan hakim menerima suap sangat kencang,”kata Hakim yang kini tengah mengambil program master dibidang hukum bisnis.

Sehari-hari Asep tampil sederhana, tak tampak barang mewah atau pakaian branded yang melekat ditubuhnya. Asep merasa gaji Rp 3,5 juta perbulan, cukup baginya yang masih bujangan. Ia dan beberapa hakim yang seide ingin menghapus imej buruk hakim. ‘’Walaupun Asep anak orang kaya, ia tak ingin menunjukkan kekayaannya. Sampai sekarang orang tetap jujur, tetapi kalau sudah memutus perkara dan tanpa tedeng aling-aling, kalau salah ya, dihukum berat, tanpa kompromi,’’kata kawan satu kampus dan kinis ama-sama bertugas di PN Jakarta Pusat. namanya.

Ketegasan Hakim Asep juga dipuji mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Bambang Widjojanto. ‘’Asep, salah satu hakim baik, yang kita miliki. Ini investasi masa depan, dia itu hakim yang langka, di tengah citra buruk hakim saat ini,’’ujar Bambang. Hakim Asep lebih memilih ke Cipanas, Jawa Barat tempat ibunya setiap kali setelah menjatuhkan hukuman yang berat kasus yang ditanganinya. Bukan ke tempat lain. ‘’Bersama ibu saya merasa aman,’’katanya.

Ahmad Taufik


Profil
Asep Iwan Iriawan
Lahir di Bandung 10 Juni 1962
Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahiyangan(1981- 1985)
STIA LAN Bandung(1994-1996)

Aktif di Organisasi :

Saat masih mahasiswa aktif menjadi anggota Senat dan Badan Pertimbangan Mahasiswa Universitas Parahiyangan, juga aktif di di Masjid SALMAN, ITB, Bandung.
Sekretaris I pengurus Pusat IKAHI
Bendahara Ikatan Hakim Indonesia(IKAHI), Muara Enim 1991

Karir :

Calon Hakim Pengadilan Negeri Bandung(1987-1991)
Hakim Pengadilan Negeri Muara Enim(1991-1993)
MA(bagian Puslitbang Diklat) 1993-1999
Hakim Pengadilan Negeri Tangerang(1999-2000)
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat(2000)
Jabatan :Hakim Niaga Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

Hazara, Duka Kaum Syiah di tengah Dominasi Sunni

Populasi Kaum Hazara memang cuma 20 persen dari Bangsa Afganistan. Namun, nasibnya terpuruk dan tersingkir sepanjang sejarah Afganistan. Setelah menjadi warga negara kelas dua, kaum Hazara melawan dominasi etnik Pastun, dengan bersatu membentuk partai politik yang kuat. Tapi karena mereka beragama Islam Syiah, mereka tak dapat tempat layak, sejak zaman Mujahidin berkuasa, apalagi saat Taliban yang membenci ajaran Syiah. Mereka tersingkir ke Iran dan Pakistan. Di tempat itu, nasib mereka juga bukan lebih baik, terutama di Pakistan, dimana masyarakat Islam Sunni Pakistan adalah pendukung pemerintah Taliban Afganistan.

Raut muka Haji Sarbini, 68 tahun tampak tegang dan sinis. Lelaki berpeci putih, dengan janggut putih di wajahnya tampak bergetar. ‘’Buat apa anda tanya nama saya dan buat apa wawancara ini?’’katanya dalam Bahasa Parsi.

Presiden Hagy Camp, tempat tinggal kaum Hazara di ibukota Propinsi North-West Frontier, Peshawar, Pakistan itu tampak tak suka. ‘’Terus terang kami takut, bila pemerintah Pakistan membaca tentang kami yang bercerita dengan anda, kehidupan kami akan semakin disudutkan. Apalagi di tengah lingkungan kota perbatasan Pakistan seperti ini yang sunni dan mendukung Taliban,’’kata Haji Sarbini.

Lelaki tua bertongkat kayu bersama delapan pengikutnya, dua diantara masih berusia 24 tahun, Ali Zada dan Mahram Ali, datang menemui saya di Peshawar International School, karena tak mau ditemui di tempat tinggalnya. Karena kebaikan seorang aktifis pendidikan yang mengelola sekolah itu, kami bertemu di ruang guru sekolah yang berada di pinggir jalan raya Islamabad- Peshawar. ‘’Mereka tak mau anda datangi di tempat mereka,’’kata Abid Zareef, aktifis lembaga swadaya masyarakat bidang pendidikan itu.

Ketakutan Haji Sarbini dan kaum Hazara karena pengalaman yang tak mengenakkan di Afganistan. Sejarah kehidupan kaum Hazara penuh duka. Setiap zaman dan pemerintahan menjadi korban pembantaian. Padahal kaum Hazara, menurut Haji Sarbini memiliki populasi 20 persen dari penduduk Afganistan. Lima persennya adalah berasal dari keturunan Nabi Muhammad dengan memakai gelar Sayyid di depan nama mereka. Dari jumlah penduduk, 6 juta warga Suku Hazara adalah etnik terbesar ketiga, setelah Pashtun dan Tajik, dari 24 juta warga Afganistan. Soal populasi kamu Hazara ini memang beberapa sumber menyebutnya berbeda-beda.

Majalah Time menyebut 19 persen dari penduduk Afganistan, di bawah Pastun, Tajik dan Uzbek. Tetapi dibantah situs Hazara Net yang menyebut 25 persen alis nomor tiga di atas suku Uzbek. Mereka mendiami kawasan tengah Afganistan yang luas, di daerah yang dikenal sebagai kawasan Hazarajat atau Hazaristan, yang termasuk wilayah Khorasan. Tepatnya, di provinsi-provinsi Bamiyan, Samangan, Ghazni, Oruzban, yang adalah kawasan berpemandangan indah, bergunung-gunung, dingin dan dialiri sungai-sungai besar. Lebih dari setengah wilayah Afganistan dihuni orang-orang dari suku Hazara.

Sejarah datangnya kaum Hazara ke wilayah yang waktu itu bernama Khorasan, sebelum berubah menjadi Afghanistan, menurut S Mousavi dalam buku Hazaras of Afghanistan bersamaan dengan datangnya Jengis Khan, di jalur sutra itu. Tak heran asal muasal kaum Hazara, menurut para antropolog, orang-orang Hazara kini adalah keturunan campuran dari para leluhur yang datang dari Mongol dan Turki yang datang ke Hazaristan, ribuan tahun silam. Campuran ketiga bangsa itu menghasilkan orang-orang berkulit putih dengan pipi merah bagai apel royal gala, mata sipit, tapi berhidung mancung wajah khas suku Asia Tengah.

Sebelum Islam masuk, sebagian leluhur orang-orang Hazara adalah penganut-penganut Buddha dari Mongol. Salah satu bekasnya, adalah artefak-artefak dan peninggalan Buddha lainnya yang terserak di kawasan Hazaristan. Salah satu yang terkenal adalah patung Buddha tertinggi di dunia, di sebuah lekuk bukit di Hazaristan, yang dihancurkan oleh rezim Taliban pertengahan tahun silam. Kini kaum Hazara mayoritas beragama Islam Syiah Itsnaasariyah (Syiah 12 Imam)-aliran Syiah terbesar, sebagian kecil menganut Syiah Ismailiyah dan Sunni (baca tulisan Seno). Bahasa yang digunakan penduduk Hazara yang dikenal dengan nama Hazaragi, adalah perpaduan kata-kata dari bahasa Mongolia, Turki dan Parsi, dari dialeknya lebih dekat dengan Bahasa Persia.

Sudah sejak lama kaum Hazara sudah tak disukai Suku Pastun. Pemerintah Afganistan sejak 1880-an, menurut Bernt Gltazer dalam tulisannya Is Afghanistan on The Brink of Ethnic and Tribal Disintegration?, menempatkan kaum Hazara sebagai negara kelas dua di bawah kekuasaan tentara suku Pastun. Meraka pandai bekerja di bidang pertanian dan perkebunan untuk suku Pastun dan para elit. Sampai tahun 1978, mereka sudah diperkenalkan pekerjaan lain, seperti administrator, pedagang, rentenir, pemilik perkebunan dan perantau ke kota-kota lain di Afganistan.

Hazara membebaskan diri dari rezim komunis pada tahun 1979. Setelah itu mereka juga menolak segala akses Pastun di Afganistan Tengah. Karena itu suku nomaden beretnik Pastun yang berada di kawasan itu mengalami penderitaan yaitu kelaparan. Karena mereka sangat tergantung pada suku Pastun di daerah lain.

Setelah bebas dari komunis Sovyet, kaum Hazara terpecah dalam berbagai partai mulai dari yang ultrakonservatif jaringan para mullah (Shura-I-Ittifac) sampai yang moderat konservatif dan nodern islam radikal (Nasr) dan ada juga yang partai Maois. Pada tahun 1980 terpilih Ayatullah Abdullah Ali Mazari sebagai pemimpim aliansi Syiah Afganistan. Tentu saja dia kelompok ini didukung pemerintah Republik islam Iran, pimpinan Ayatullah Rahullah Khomeini. Selama periode jihad, pusat perjuangan mereka diatur dari Mashhad, Iran. Tetapi kemudian pindah ke Quetta di Propinsi Baluchistan, Pakistan.

Pada Juni 1990, berbagai grup Syiah tergabung dalam Hizb-I-Wahdat (Partai Persatuan). Mazari memimpin partai itu. Mereka bersatu juga karena tekanan pemerintah Iran, negeri Ayatullah Khomeini itu juga mendukung partai kaum Hazara termasuk keuangan. Setelah tahun 1992 saat peran sipil di Afganistan memaksa mereka tambah bersatu dalam bidang politik. Tapi pada tahun 1994 Mazari terbunuh oleh konspirasi kelompok mujahidin beretnik Pastun, Hizbi-I-Islam pimpinan Gulbddin Hekmatyar. Perjuangan selanjutnya Mazari digantikan Abdul Karim Khalili.

Pembantaian pertama suku Hazara saat pemerintahan Mujahidin terjadi pada 11 Februari 1993. Ketika itu sekitar pukul satu dini hari warga Hazara yang sedang tidur lelap di Kampus Institut Ilmu Sosial kota Afshar, tiba-tiba diserang dari tiga penjuru. Dari sebelah barat pasukan Ittihad-I-Islami pimpinan Profesor Sayyaf, dari utara dan selatan diserang pasukan Presiden Burhanuddin Rabbani, pemimpin Hizb-I-Islami.

Para penyerang itu dibantu oleh para pengkhianat yang berada di dalam partai kaum Hazara. Pasukan yang loyal pada Sayyaf dan Ahmad Shah Massoud menyerang seluruh area itu sampai ke Kota Karteh Sahe, sebelah barat ibukota Afganistan Kabul. Selama 24 jam mereka membunuhi, memperkosa, membakar rumah dan menangkapi anak-anak laki dan perempuan. Akibat kejadian itu dilaporkan sekitar 700 orang diperkirakan mati dan hilang. Setahun kemudian, setelah daerah itu kembali direbut oleh pasukan Hizb-I-Wahdat, ditemukan kuburan massa, berisi 58 tubuh. Sebuah lembaga pengamat hak asasi manusia, Human Right Watch, yang berpusat di New York, Amerika Serikat melaporkan pembantaian itu menyebabkan seribu orang tewas dan hilang, mayat yang ditemukan leher, tangan atau kaki korban putus.

Karena pembantaian itulah kaum Hazara mulai tak percaya dengan para pejuang Mujahidin di bawah pimpinan Rabbani. Maka ketika pasukan Taliban datang ke Kota Mazar-I-Syarif pada 1996, kaum Hazara menyambut dengan sukacita. ‘’Semula kami menganggap Taliban yang membawa bendera pemerintahan Islam akan membawa kehidupan yang lebih baik dibandingkan di bawah kepemimpinan para Mujahidin yang korup dan merampasi barang-barang milik rakyat,’’kata Haji Sabirin yang tinggal disana waktu itu.

Namun, harapan kaum Hazara, hanyalah harapan hampa. Ternyata pemerintah Taliban tak lebih baik dari Mujahidin. ‘’Mereka membantai kaum kami dengan alasan tidak taat dan memberontak. Mereka masukkan anak-anak ke dalam truk trailer lalu menembaki mereka, oh, sungguh kejam,’’air mata Presiden Hagy Camp itu menetes.

Yang paling menyakitkan, menurut Haji Sabirin, saat Gubernur Mazar-I-Syarif, Abdul Manan, mengumumkan kaum Hazara harus bayar Jizyah. Yaitu suatu pembayaran yang biasa ditujukan untuk kaum kafir sebagai ketertundukan kepada pemerintah Islam, semacam uang perlindungan. Bahkan Komandan Pasukan Taliban, Niazi, mengancam bila kaum Hazara tak membayar jizyah, dipotong lehernya. ‘’Nah, sejak itu kami anti Taliban, kami melawan dimana-mana, dan sejak itu pembantaian kaum kami terus berlangsung,’’katanya.

Untuk menghindari musnah kaumnya, warga Hazara lari ke berbagai penjuru ke Iran, Tajikistan dan Pakistan. Di Iran mereka kebanyakan tinggal di camp-camp pengungsi di Kota Mashhad. Menurut seorang pemuda Hazara yang lari dari pengungsian di Mashhad, Rashid Ali, 19 tahun, kehidupan kaum Hazara tak diurusi pemerintah Iran. ‘’Kami tinggal berdesak-desakan disana, hanya diberi makan sehari sekali. Kabarnya, sengaja dilakukan pemerintah Iran, agar kami segera kembali ke tanah kami di Afganistan,’’katanya. Banyak diantara pengungsi itu yang lari dari kamp dan bekerja menjadi kuli di kota-kota besar di Iran. Paman Rashid, bekerja sebagai sopir taksi di Iran.

Di Tajikistan mereka hidup di camp-camp pengungsi dekat perbatasan. Hidupnya juga tergantung belas kasihan lembaga donor dunia. Di Pakistan mereka hidup di Quetta dan Peshawar. Di Ibukota Propinsi Baluchistan, daerah sebelah selatan Pakistan itu mereka hidup berdagang dan menjadi pekerja perkebunan tuan-tuan tanah Suku Balukh. Beberapa pekerja suku Hazara ditemui TEMPO bekerja pada perkebunan milik keluarga Kakar. Mereka tinggal di gubuk-gubuk tanah kosong milik perkebunan, dipinggiran Kota Quetta, berbatasan dengan gunung-gunung yang kering. Setiap hari mereka naik sepeda sejauh 16 kilometer menuju tanah perkebunan. Lebih dari 23 ribu keluarga tinggal di Quetta.

Di Peshawar, menurut Haji Sarbini, 27.000 keluarga kaum Hazara tinggal, sebagian besar tinggal di Hagy Camp. Tak jauh dari terminal dengan nama yang sama di pinggiran Kota Peshawar. Mereka hidup seadanya. TEMPO berkunjung ke tempat itu tanpa sepengetahuan Haji Sarbini melihat warga Hagy Camp yang tinggal di rumah terbuat dari tanah lempung. Rumah berdempet-dempetan dengan jalan-jalan kecil, cukup luas. Komplek itu terletak di kelilingi jalan melingkar (outer ring road) pinggiran Peshawar. ‘’Kami hidup miskin, belum lagi dimusuhi orang-orang Pakistan yang didominasi Islam Sunni dan para pendukung Taliban,’’kata Haji Sarbini.

Bagi yang berduit, kaum Hazara di Peshawar lebih suka tinggal tinggal di Kompleks Perumahan Hayatabad, bercampur dengan suku dan warga lainnya. ‘’Bagi yang tak sanggup lari, kami hidup meninggalkan atribut kami sebagai penganut agama Islam Syiah,’’ujar Kakek 8 cucu itu. Di Kabul mereka hidup sangat miskin dan biasanya disebut kuli.

September 1997, sekitar 70 orang sipil termasuk perempuan dan anak-anak dibantai oleh tentara Taliban di desa Qezelabad dekat Mazar-I-Syarif. Karena Taliban ingin merebut daerah itu yang masih belum dikuasainya saat itu. Namun pemerintah Taliban mengaku tak bertanggung jawab atas pembantaian itu.

Pembantaian terhadap kaum Hazara juga terjadi pada Agustus 1998, Taliban dilaporkan melakukan pembunuhan massal kaum Hazara dalam dua kesempatan. Pada kesempatan pertama 2.000 orang tewas, dan dalam kesempatan lain 5.000 mati mengenaskan. Tentara militan Taliban datang masuk dari rumah ke rumah kaum Hazaran dan mengambil laki-laki yang mereka hitung sudah bisa melakukan perang, tak jarang anak-anak lelaki berusia 10 – 12 tahun mereka seret ke luar rumah. Mereka bunuh di depan keluarga mereka, ada yang ditempat atau digorok lehernya. Karena penjara di kota-kota sudah penuh sesak. Mereka dibunuh seperti sampah, hanya karena mereka berbeda agama dan darah.

Pembantaian massal kaum Hazara terakhir di Yakawlang, Propinsi Bamiyan pada 7 Januari 2001. Itulah tempat terakhir kaum Hazara, setelah tersingkir di mana-mana. Menurut seorang saksi mata sebagaimana dilaporkan HRW, ‘’malam hari 7 Januari seorang kawan berkata pada saya mendengar suara helikopter terbang dekat Feroz Bahar. Orang-orang pikir itu adalah pesawat bantuan yang membawa bahan makanan dan obat-obatan dari badan dunia. Tetapi ternyata yang terbang itu adalah pesawat tentara Taliban. Malam hari itu terdengar suara pertempuran. Paginya lagi, kami mendengar ada suara tembakan yang terus menerus di Desa Nayak, tak jauh dari tembakan semalam. Siang harinya ditemukan ratusan orang tewas mengenaskan.’’

Melihat nasib kaumnya yang semakin menyedihkan, Haji Sarbini berharap adanya pemerintahan yang demokratis di Afganistan. ‘’Pemerintahan yang melindungi semua pihak, tak memandang suku, agama atau jenis kelamin,’’katanya. Karena itulah dalam sejarah perjalanan hidup kaum Hazara, walaupun pernah dihianati berbagai kelompok dan suku, sebagian dari mereka rela bergabung dalam kelompok aliansi utara. ‘’Lebih baik berusaha bersama mengusir Taliban, lalu merumuskan kembali pemerintahan Afganistan untuk Bangsa Afgan dimasa mendatang, bukan untuk Bangsa Arab, Pakistan atau lainnya,’’kata Haji Sarbini.

Ahmad Taufik, Tomi Lebang

Rezeki di Sela Gedung Tua

Kota Tua Jakarta memang masih kumuh, rawan, dan belum tertata. Tapi banyak yang mengais rezeki dari sektor informal di sini.
**-
PEDAGANG buah dari Bogor dan Bojong Gede sibuk menurunkan keranjang-keranjang yang masih tertutup daun pisang. Begitu juga beberapa pedagang kaus dan sepatu menurunkan bergelondong-gelondong barang jualan mereka. Para kuli panggul asal kulon--begitu sebutan kuli asal Banten--pun tak kalah sibuk berebut mengangkut berbagai barang yang baru turun dari kereta listrik jurusan Bogor-Stasiun Kota. Kesibukan sudah amat riuh di stasiun kereta api Beos ketika sinar matahari baru nongol dari ufuk timur.

Mungkin itulah karakter stasiun Beos, singkatan dari Bataviasche Ooster Spoorweg (BeOS) atau Stasiun Kereta Timur Batavia: sibuk. Stasiun yang dibangun dan dirancang Insinyur Frans Johan Lourens Ghijsels pada awal abad ke-20--tepatnya 1929--itu memang terletak di pusat bisnis Batavia. Kesibukannya bersaing dengan Pelabuhan Sunda Kelapa. Pemerintah kolonial Belanda, yang datang setelah Portugis, dan perkumpulan pedagang Belanda (VOC) merasakan kota itu butuh stasiun kereta api yang besar seperti kota-kota di Eropa. Gaya arsitektur Art Deco yang sedang menjadi tren di Eropa ketika itu--dengan ciri kaca-kaca berbidang luas dan garis-garis simetris tegas--pun menjadi langgam Stasiun Kota.

Kini Beos tetap sibuk plus semrawut. Keluar dari stasiun, kemacetan sudah mencegat. Mikrolet berhenti sembarangan di depan stasiun, ojek sepeda motor dan sepeda mengangkut setumpuk barang, membuat pejalan kaki tak kebagian ruang.
Rasa longgar dan bebas baru dinikmati setelah seratus langkah berjalan ke utara dari perusahaan ekspedisi Tjetot yang terletak di seberang Stasiun Kota. Di sana terhampar lapangan dengan lantai batu: Taman Fatahillah. Ratusan murid sekolah dasar berkerubung memasuki museum di sana, sekelompok turis mancanegara memotret air mancur dengan bangunan kecil di tengahnya. Beberapa remaja putri berseragam sekolah menengah bercengkerama sembari mengisap rokok di bawah pohon. “Uhuk…, uhuk…,” Suara bantuk terdengar dari salah seorang di antara mereka.

Tampak juga pemotret yang sedang mencari sudut cantik untuk pengambilan gambar bagi pasangan yang akan menikah. Bangunan tua di sekitar Taman Fatahillah dan di pinggir Kali Besar memang menjadi latar belakang laris untuk pemotretan seperti itu, atau untuk latar video klip, bahkan pembuatan film.

Sepeda onthel yang biasanya digunakan untuk ojek ikut menjadi latar belakang pemotretat. Untuk menyewa, tarifnya Rp 20 ribu. “Lumayanlah, tak keluar tenaga, duit mengalir,” kata Icang, pengojek sepeda yang mewarisi kendaraan itu dari ayahnya yang juga pengojek. Sehari penghasilannya hanya sekitar Rp 45 ribu. Maklum, tarif ojek onthel lebih murah daripada ojek motor.

Sedikit ke utara lapangan Fatahillah, keadaan mulai tak bersahabat. Tampak seorang berseragam tukang parkir mencoba meminta uang kepada seorang perempuan penjaga meja biliar di salah satu sudut bangunan tua itu. “Minta dua rebu,” katanya. Yang dimintai sewot. “Bisanya minta.” Dalam ruang gedung tua yang gelap memang terdapat beberapa meja biliar. Hanya tiga meja yang digunakan pada siang itu.

Selain tempat biliar “gelap”, di gedung tua sekitar itu juga terdapat toko pakaian “gelap”. Berbagai jenis pakaian tergantung di tembok bangunan tua yang tak terawat. Tapi, bukannya tempat berdagang yang aneh itu tak ada pembelinya. Eddy Koto Rizal, salah seorang pedagang celana jins, mengaku bisa membawa pulang uang hingga Rp 2 juta sehari. “Kalau Lebaran malah bisa Rp 10 juta sehari,” katanya.

Eddy dan pedagang lainnya menyewa bangunan tak bertuan itu dari seorang polisi. ”Daripada dibiarkan kosong, seorang polisi mengorganisasi pedagang kaki lima untuk berdagang di sini,” ujar salah seorang pedagang nyeletuk.
“Aturannya” pun ada. Jika tak mau ditempati orang lain atau tiba-tiba “disewakan” orang lain, lebih baik menyewa penjaga.

Rohadi adalah salah seorang yang mengais rezeki menjaga bangunan tua. Pria 66 tahun asal Tegal itu disewa beberapa pemilik bangunan untuk menunggu gedung tua itu. Untuk menjadi penjaga gedung Tjipta Niaga, dia mendapat Rp 200 ribu per bulan. Kalau ada artis syuting videoklip, dapat tambahan Rp 200 ribu. Kafe Batavia memberinya Rp 1,5 juta, Bank Mega Rp 1 juta per bulan. “Kalau dihitung-hitung, Rp 5 juta bisalah sebulan,” katanya.

Rohadi memang punya kemampuan menjaga gedung, karena dia sudah mengenal setiap sudut Kota Tua. Dia datang ke Jakarta pada 1950, ketika terjadi pemberontakan Darul Islam. “Butuh waktu seminggu untuk sampai ke sini,” kata Rohadi, yang mengaku berjalan kaki menyusuri rel kerata api dari Brebes ke Jakarta, karena rel kereta api saat itu terputus.

Sebelum dipugar pada masa Gubernur Ali Sadikin, menurut Rohadi, Taman Fatahillah merupakan terminal bus, opelet, serta pasar. Kawasan Kota Tua mulai ditinggalkan orang pada pertengahan 1980-an. “Karena kawasan ini tidak aman dan macet,” katanya.
Toh, tetap saja orang yang mencari rezeki tak hengkang dari kawasan Kota Tua.

Bahkan ada saja produk terkenal di sana yang masih selalu dicari orang. Salah satunya adalah di Gang Gloria, yang letaknya tak jauh dari Jalan Pancoran. Jalan sempit itu dipenuhi berbagai jenis makanan khas Cina, mulai dari mi kangkung, siomai, berbagai makanan mengandung babi, hingga yang lebih menantang seperti penyu. Semua ada.

Salah satu yang legendaris adalah gado-gado direksi, yang sudah ada sejak 1967. Meski terletak di gang kecil, penggemar gado-gado direksi bukan sembarang orang. Biasanya bankir atau karyawan kantor sering memesan gado-gado ini untuk makan siang. Omsetnya mencapai Rp 30 juta sebulan. “Bisnis ini saya dapat dari ibu saya. Kebetulan saya satu-satunya anak perempuan dari lima bersaudara,” kata Giok Lie.

Tidak hanya dagangan Giok Lie yang laris manis. Jualan Atim bin Saimin juga tak kalah. Pedagang lektau atau kacang hijau berusia 49 tahun ini baru mulai berjualan sore hari, sekitar pukul 16.30. Tempatnya di depan Apotik Bintang Semesta, Pancoran. Tapi, menjelang magrib, lektau yang dijual Rp 3.000 semangkok sudah ludes. “Setiap hari, saya dapat penghasilan bersih Rp 150 ribu. Lumayan buat membiayai lima anak saya,” kata warga Angke yang sudah berjualan lektau selama 33 tahun ini.

Tatkala gelap dan lampu-lampu mulai menyala, pencari rezeki pun berganti wajah. Di kawasan pecinan Kota Tua, karaoke, klub malam, dan panti pijat mulai buka. Di ujung jalan, dekat Jembatan Kota Intan--yang kini cuma hiasan dan kenangan--tampak sekelompok pekerja seks menjajakan diri. Pelanggannya sopir, kuli, dan lelaki iseng lainnya. Sampai saat azan subuh mengalun dari masjid kecil tak jauh dari jembatan itu, orang-orang yang mengais rezeki di Kota Tua tetap saja ada.

Ahmad Taufik, Amandra Mustika Megarani

The Beatles van Bandung

G-Pluck, grup musik asal Bandung, terpilih sebagai satu-satunya band dari Asia yang tampil dalam Beatles Week di Liverpool. Menjiplak pun butuh keseriusan.

**--
Come on…, come on…, come on…, come on…, bye…, yeah…. Begitulah Twist and Shout dibawakan oleh John Lennon, Paul McCartney, George Harrison, dan Ringo Starr.
Mereka menggebrak suasana ketika tampil di panggung Sasana Budaya Ganesha, Bandung, awal Juni lalu. Setelah itu, berturut-turut grup itu muncul dan tampil prima di Cirebon, Semarang, Yogyakarta, dan juga Planet Hollywood, Jakarta, sepanjang Juli ini.

The Beatles kembali? Tidak, ini hanya “reinkarnasi”-nya. Namun gaya bermusik mereka, suara vokalis--Paul McCartney dengan logat Irlandia dan John Lennon dengan aksen British-- gerakan, hingga kostum, semua mirip The Beatles. Padahal keempat pria itu adalah urang Bandung asli yang tergabung dalam G-Pluck. “Dari fashion dan musiknya, mereka habis-habisan menjiplak The Beatles,“ kata pengamat musik Denny Sakrie.

Eit.., jangan terburu-buru meremehkan mereka. G-Pluck jelas tak asal menjiplak The Beatles. Buktinya, mereka terpilih menjadi satu-satunya band di Asia yang mendapat kesempatan tampil dalam Beatles Week Festival, ajang perayaan The Beatles terbesar di dunia, di Liverpool, Inggris, 20-26 Agustus mendatang. Dalam acara tersebut, akan tampil 200 grup, namun hanya 40 yang boleh menggelar pertunjukan langsung, termasuk G-Pluck, yang mendapat kesempatan tampil live tujuh kali dalam lima hari festival itu digelar.

Tidak cuma itu, G-Pluck mendapat kehormatan unjuk gigi di The Cavern Club, sebuah klub yang “sakral” bagi The Beatles dan Beatlesmania. The Cavern yang terletak di Jalan Mathew 10, Liverpool, itu merupakan klub yang menjadi titik awal sukses The Beatles. Sebab, ketika main di klub itu pada 9 November 1961, Brian Epstein, bos toko musik North End Music Store, menonton The Beatles dan memutuskan menjadi manajernya. Epsteinlah yang berhasil membawa The Beatles masuk dapur rekaman untuk pertama kali pada 1962. “Bagaimana kami tak bangga bisa tampil di Cavern,” kata Awan Garnida, pentolan G-Pluck.

Sebelum sampai ke The Cavern Club, perjalanan G-Pluck sendiri dalam menjiplak The Beatles sungguh panjang dan berliku. G-Pluck berdiri tujuh tahun lalu, tapi para personelnya sudah hampir 15 tahun memainkan lagu-lagu The Beatles. Selama masa itu, setiap anggota band juga berusaha “bermetamorfosis”. Awan Garnida, pemimpin dan pemain bas, berjuang mirip Paul McCartney, Wawan menjadi George Harrison, Adnan Sigit berusaha mereplika John Lennon, dan Beni Pratama penggebuk drum meniru Ringo Starr, lengkap dengan berewoknya.

“Tapi kami hanya meniru saat tampil di panggung, tidak dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Awan. Ya, G-Pluck mengadopsi mulai dari cara dan gaya bermain gitar, pakaian, peralatan band, tone musik, sampai ceplas-ceplos cara omong personel The Beatles, lengkap dengan dialek Inggrisnya. Bahkan sampai kesalahan George Harrison saat main musik, mereka tiru juga. Beberapa kesalahan lain yang ditiru G-Pluck antara lain dalam lagu Let It Be, All You Need is Love, Slow Down. “Ini agar kami tampil sempurna,” kata Awan

Perjuangan meniru juga dilakukan oleh personel G-Pluck dalam cara memainkan alat musik. Awan, yang tidak kidal, berusaha bermain bas dengan tangan kiri. Mereka juga memesan gitar untuk Wawan sama dengan gitar yang dimainkan George Harrison, langsung dari pabriknya di Jerman. Begitu juga dengan bas yang dimainkan Awan, dipesan langsung dari pabriknya, Hofner, di Jerman. Jenisnya pun sama dengan yang dimainkan McCartney, yaitu lefthanded 500/1 –vintage 63, yang diboyong pulang dengan harga US$ 300 ribu (sekitar Rp 2,75 miliar).

Meniru baju agar benar-benar mirip dengan yang dikenakan The Beatles saat manggung juga tak mudah. Mereka tak segan mencari-cari sampai ketemu penjahit yang tepat. Menurut Awan, yang paling sulit adalah meniru kostum Sgt. Pepper’s--baju ala tentara--yang dikenakan The Beatles. Sedangkan untuk tampil di Liverpool, G-Pluck telah memesan seperangkat kostum langsung dari penjahit yang membuat baju The Beatles.

Butuh waktu lima tahun untuk melakukan semua proses peniruan hingga mirip benar dengan The Beatles. G-Pluck melakukannya dengan mengacu pada lagu-lagu, footage, film, dan wawancara dengan The Beatles. “Yang paling sulit adalah menginterpretasikan penampilan grup pada era pertengahan hingga 1969, karena The Beatles tampil live terakhir pada 1966 sebelum bubar pada 1970,” ujar Awan.

Sebenarnya, peniruan The Beatles bukan hal baru. Banyak grup musik yang lebih dahulu melakukannya, seperti Bharata Band, Mat Bitel, Silver Beat. Tapi peniruannya hanya sebatas pada lagu-lagu dan kostum. Tak ada yang sampai seserius dan setotal G-Pluck. “Kami hadir sebagai pelipur dahaga para Beatlesmania yang biasanya hanya bisa melihat dari klip atau kaset. Paling tidak mereka bisa terhibur dengan menonton ’reinkarnasi’ The Beatles,” ujar Awan.

Pernyataan Awan memang bukan omong kosong. G-Pluck bermain apik tampil menghibur 90 menit nonstop membawakan 33 lagu The Beatles hampir tanpa cacat di lapangan Sasana Ganesha Bandung dalam acara Road to Liverpool. “Saya semula tidak tahu seperti apa G-Pluck. Namun, setelah menyaksikan sendiri, saya salut. Mereka membawakan semuanya secara sempurna,” ujar Desi Rosanti, 24 tahun, penonton yang mengaku fan berat The Beatles.

Meniru grup band atau penyanyi asing memang bisa digunakan sebagai penawar rindu para penggemar di sini. Seperti G-Pluck menghibur Beatlesmania itu. Bahkan, menurut Denny, band imitasi berbagai kelompok musik asal Eropa atau Amerika pernah berkembang pesat pada 1970-an. “Hampir semua band maupun penyanyi individu saat itu nyontek dari luar,” katanya.

Lalu pada 1980-an, Sys N.S., mantan penyiar radio Prambors yang sekarang menjadi politikus, mencoba menghidupkan kelompok-kelompok musik tiruan dalam sebuah parade. Ada Acid Speed Band yang meniru The Rolling Stones, Cockpit pimpinan Fredy Tamaela mirip Genesis. Ketika itu Gito Rollies dinobatkan sebagai Jim Brown, Ikang Fawzi sebagai Rod Stewart. “Saya pernah melihat situs Genesis, Cockpit dari Indonesia masuk daftar peniru yang baik,” ujar Denny.

Sampai saat ini pun masih cukup banyak band di Indonesia yang meniru kelompok dari mancanegara, meski kebanyakan tak diakui. Namun, dari semua peniruan, G-Pluck tak tertandingi. Menurut Denny, kelompok itu benar-benar mengambil “jalan Beatles”, tak sekadar musik “rasa” Beatles. Hal itu terbukti dari respons penggemar The Beatles. Desi Rosanti, misalnya, sampai meneteskan air mata melihat penampilan The Beatles, eh, G-Pluck.

Mungkin hanya satu yang sedikit berbeda. G-Pluck lebih sopan ketimbang The Beatles. Awan “Mc Cartney” tak lupa memohon doa restu kepada para penggemarnya dalam setiap pementasan sebelum G-Pluck berangkat ke Liverpool, 15 Agustus nanti. “Semua izin dan lain sebagainya sudah beres, kami berdelapan (anggota band dan kru) siap berangkat,” ujar Awan. Mudah-mudahan saja, G-Pluck mendapat keuntungan seperti The Beatles ketika manggung di The Cavern Club.

Ahmad Taufik, Alwan Ridha Ramdani dan Rana Akbari Fitriawan (Bandung)

Selasa, Agustus 12, 2008

Harapan Itu Datang Juga

Masih ingat "Kisah Keluarga Penderita Kanker"? (posting 13 Juni 2008).

Waktu memang cepat berlalu, namun harapan itu masih ada dan datang kepadanya. Seorang Bapak warga Blok A, Jakarta Selatan, berusia 70 tahun, yang menemuiku karena isterinya menderita kanker kembali mengontak ku. "Terima kasih, beribu terima kasih,"katanya, dari ujung telepon terdengar isak (entah tangis atau haru aku tak bis lihat).
Ia bercerita, sejak aku memberi informasi dan petunjuk untuk menemui dokter Lunardi, akhirnya dokter Yan Djukardi seorang dokter Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta membantu menemui dokter Lunardi. "Dokter Yan, membantu saya akhirnya, pak,"ujarnya.
Dokter Lunardi, penemu obat kanker yang mengobati pasien lewat jalan belakang (dubur), memberi obat untuk isterinya 120 butir. "Setelah riwayat eksehatan isteri saya, dan segala tentang penyakitnya, dokter Lunardi memberi obat, dan sudah kami pakai 50 butir hingga kini,"katanya.
Sejak menggunakan obat yang diberikan Lunardi, Bapak itu mengakui isterinya menjadi lebih sehat. "Saya gembira, karena ada perkembangan kesehatannya,"katanya. Memang kegigihan itu ada hasilnya.
Saya memang sempat melupakan bapak itu, karena kesibukan dan juga hilangnya kontak dengan dokter Lunardi. Belum lagi kakak saya (usia 50 tahun)yang juga kena kanker otak, dua bulan setelah dioperasi dokter Ali Shahab di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta, meninggal dunia. Operasi membuat penyakitnya makin parah, kankernya makin menyebar ke bagian tubuh lainnya. Saya melihat betapa sakit yang dirasakan kakak saya. Bahkan saya tak mampu membayangkan. Akhirnya membuat saya tak tega melihatnya.
Beruntung Bapak yang gigih itu, lewat tangan dokter Lunardi, isterinya diberikan jalan, minimal harapan. (***)