Rabu, September 24, 2008

Waspadai Sakit Usai Lebaran dan Tips Sehat Berlebaran

Seusai Lebaran, berbagai penyakit meningkat, termasuk stroke. Makanan dan kegiatan tak terkontrol menjadi penyebab utamanya.
**-
LEBARAN baru sepekan lewat. Tapi Tri Widodo, 45 tahun, harus masuk rumah sakit karena tifus. Dua bulan dia tak bisa bekerja, 21 hari terbaring di rumah sakit, selebihnya dirawat di rumah. “Kayaknya saya kelelahan. Selepas puasa, aktivitas saya langsung digenjot sepuas-puasnya, terutama olahraga kesukaan saya, bulu tangkis,” katanya. Sedangkan makanan yang masuk tak sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan.

Itu cerita setahun lalu. Menjelang hari raya Idul Fitri ini, ada baiknya mengingat kisah itu. Sebab, menurut para dokter, banyak orang jatuh sakit setelah berlebaran--terutama seminggu sesudahnya. “Meningkat. Umumnya berhubungan dengan penyakit akibat tidak terkontrolnya makan,” kata dokter spesialis gastroenterohepatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Ari Fahrial Syam.

Sudah tradisi, saat Lebaran segala macam makanan lezat, gurih, dan manis tersedia, baik di rumah maupun tempat yang dikunjungi untuk silaturahmi. Misalnya opor ayam, aneka kue kering dan basah, sirup, sampai minuman bersoda. Nah, jika tergoda mengkonsumsi secara berlebihan, dipastikan penyakit segera menghampiri.

Menurut Ari Fahrial yang juga Wakil Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), ada tiga kelompok penyakit yang umumnya terjadi pasca-Ramadan dan Idul Fitri. Pertama, penyakit yang timbul pada saat mudik Lebaran, karena berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Dalam hal ini, penyakit yang banyak ditemukan adalah diare. “Karena pada saat mudik orang mengkonsumsi makanan mungkin tanpa memperhatikan kualitas dan kebersihannya,” kata Ari.

Lalu yang berhubungan dengan infeksi saluran pernapasan atas. Setelah puasa, orang masih lelah, kemudian datang Idul Fitri. “Nah, pada saat berlebaran, mereka kurang istirahat. Dalam keadaan tubuh tidak fit, orang mudah tertular penyakit dari orang lain,” tutur ahli biologi molekuler ini. Penyakit yang gampang menular antara lain flu, batuk, pilek, dan infeksi saluran pernapasan.

Kelompok kedua, penyakit yang muncul karena kambuh. Orang yang sudah memiliki penyakit biasanya bisa mengontrol makanan selama berpuasa. Namun, ketika Lebaran tiba, makanan kurang terkontrol dengan dalih “mumpung Lebaran”, misalnya. Penyakit yang biasanya kambuh antara lain kencing manis (diabetes), hipertensi, kolesterol tinggi, kegemukan (obesitas), dan asam urat. “Seminggu pertama setelah Lebaran, banyak pasien yang datang ke rumah sakit karena stroke,” kata lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 1990 ini. Menurut Ari, sudah seperti kebiasaan, jumlah orang terkena stroke pasca-Lebaran meningkat.

Kolesterol tinggi memang ditengarai sebagai pemicu berbagai gangguan kesehatan seperti hipertensi, gangguan jantung, hingga stroke. Walau sebenarnya kolesterol merupakan unsur yang dibutuhkan tubuh, kadar yang berlebihan dapat menyebabkan berbagai penyakit. Kadar kolesterol orang sehat berada di bawah 200 mg/dL, dengan kadar kolesterol jahat (LDL) di bawah 130, dan kolesterol baik (HDL) di atas 40. “Penyebab hipertensi antara lain, makanan asin yang dikonsumsi berlebihan,” kata dokter Ari.

Sedangkan pada penderita kencing manis, ketika berpuasa, gula darahnya terkontrol. Namun, tatkala Lebaran tiba, begitu banyak variasi makanan manis. Jika kita tak dapat menahan diri, gula darah pun meningkat. Diabet kambuh. “Asam urat juga kambuh, akibat makan makanan berpurin tinggi seperti usus, ati, ampela, paru, dan otak,” ujar Ari.

Terakhir, kelompok penyakit yang terjadi akibat kurangnya memperhatikan kebersihan lingkungan. Karena tidak ada pembantu, rumah ditinggal mudik dalam keadaan kotor. Ada genangan air, makanan yang tercecer dimakan tikus, dan sampah yang banyak mengundang lalat. Padahal lalat membawa berbagai penyakit infeksi usus, dari diare sampai yang berat seperti demam tifoid. Tikus dapat menyebabkan demam kuning atau leptospirosis. Nyamuk Aedes aegypti bisa membawa virus DHF, penyebab demam berdarah.

Bagaimana cara mengatasinya? Ari menyarankan agar memperhatikan makanan dan minuman pada saat mudik. Dalam perjalanan, jangan mengkonsumsi makanan jika tak yakin atas kualitas dan kebersihannya. Kalaupun ingin membawa dari rumah, harus diperhatikan paling tidak makanan itu bisa tahan 6 hingga 8 jam setelah dibuat. Jangan sampai masakan yang sudah rusak atau basi dimakan.

Bagi orang yang berpenyakit kronis, Lebaran bukanlah kesempatan melepaskan kendali selepas-lepasnya. Justru kesehatan yang sudah diraih selama sebulan berpuasa wajib dipertahankan. “Jangan karena merasa sehat, lepas, selepas-lepasnya. Bahayanya di situ,” tutur Ari.

Selain itu, banyak juga orang yang berupaya melawan rasa lelah dengan minum vitamin C dosis tinggi. Menurut Ari, penggunaan suplemen juga harus diperhatikan efek sampingnya. Suplemen yang cocok untuk seseorang belum tentu cocok untuk orang lain. “Kalau memang merasa asupan makanan tak mencukupi, silakan saja minum suplemen, tetapi harus hati-hati,” ujarnya.

Sebenarnya, penyakit yang timbul akibat merayakan hari raya atau hari libur besar merupakan gejala umum di dunia. Misalnya, ketika Natal, thanksgiving, atau tahun baru, biasanya orang lebih membuka keran kontrol diri. Lebih berbahaya bila orang tidak hanya makan makanan berlemak, terlalu asin dan manis, serta dalam jumlah berlebihan, tapi juga menenggak minuman beralkohol. Ditambah lagi, tingkat depresi biasanya juga meningkat bila musim hari raya atau liburan tiba.

Penyakit yang timbul akibat itu semua antara lain dehidrasi--karena terlalu banyak mengkonsumsi zat amfetamin (ekstasi)--sakit kepala, mulut kering, sensitif cahaya lampu, mudah terangsang, dan ketagihan tidur (mengantuk). “Di mana pun berada, semuanya kembali berpulang pada apa yang dikonsumsi saat liburan atau hari raya,” kata Ari. Salah satu penghulu umat Islam, Imam Ali bin Abi Thalib, pun sudah memberikan nasihat, tak ada kesehatan bagi orang yang banyak makan.

Ahmad Taufik

Tips Sehat Berlebaran

- Tetap mempertahankan cara mengontrol makan seperti saat berpuasa Ramadan. Jangan lepas kendali.
- Istirahat cukup, karena perjalanan mudik atau berkeliling silaturahmi yang melelahkan, tubuh rawan tertular penyakit.
- Minum air putih cukup, 8-10 gelas sehari.
- Banyak mengkonsumsi buah dan sayur.
- Bagi yang punya penyakit kronis, perhatikan stok obat, berjaga-jaga bila di tempat mudik obat yang rutin dikonsumsi tak tersedia.
- Olahraga 30 menit setiap hari, lima hari dalam seminggu.

(dimuat Majalah Tempo yang terbit 25 September)-edisi dipercepat

Senin, September 22, 2008

Operasi Gratis buat Si Miskin

Warga tak mampu bisa mendapat pelayanan kesehatan gratis, bahkan sampai operasi jantung. Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, melakukan hal itu. ------

Dedi Subandi merasa bersyukur. “Sudah tenang, masalah yang selama ini membebani saya sudah terangkat,” katanya. Dia mengaku tak lagi stres karena sudah terbebas dari sakit dada yang terus menderanya selama dua tahun belakangan.

Untuk pergi atau pulang, warga Jalan Jurang, Bandung, itu harus istirahat 10 menit setelah melalui jalan tanjakan, untuk mengurangi rasa sakitnya. Padahal, untuk melewati gang rumahnya, ada beberapa tanjakan. Maklum saja, karena Dedi tinggal di daerah padat, yang hanya bisa dilalui sepeda motor dan pejalan kaki.

Karena tak tahan, Dedi, yang bekerja sebagai tenaga keamanan parkir sepeda motor di kampus Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, memeriksakan diri ke rumah sakit terdekat. Tiap periksa, Dedi harus merogoh koceknya Rp 40 ribu buat dokter dan Rp 300 ribu untuk menebus obat. Padahal upah yang diterima Dedi sebagai pegawai lepas hanya Rp 300 ribu sebulan. Biayanya memang besar, karena penyakitnya juga tak main-main. Dokter menvonisnya sakit jantung.

Melihat penderitaan Dedi yang tak kunjung berujung, keluarga mendorongnya agar melakukan pemeriksaan tuntas ke Rumah Sakit Hasan Sadikin menggunakan fasilitas untuk orang miskin. Istrinya bergerak cepat mengurus segala surat yang diperlukan, mulai rukun tetangga, rukun warga, kelurahan, kecamatan, sampai pemerintah daerah.

Akhir Juli lalu tim dokter Rumah Sakit Hasan Sadikin memeriksa Dedi menyeluruh selama sepekan. Setelah dimasukkan kateter untuk meneropong jantungnya, ternyata kondisinya sudah payah. “Ketiga pembuluh koronernya menyempit dan tersumbat, jalan satu-satunya operasi bypass,” ujar dokter ahli jantung Achmad Fauzi Yahya.

Dua pekan setelah pemeriksaan komplet, Dedi mulai masuk rumah sakit. Setelah tiga hari menunggu, Dedi masuk ruang operasi. “Saya lihat ada 15 dokter yang menangani,” katanya kagum. Mulai yang periksa gigi, mata, sampai bagian dalam lainnya. Alhamdulillah, operasi lancar.

Akhir Agustus lalu, dia sudah kembali ke rumahnya yang hanya seukuran 3 x 4 meter. “Inilah hasilnya,” ujarnya sambil memperlihatkan bekas pembedahan di bagian kaki dan dada yang masih belum mengering kepada Tempo pekan lalu.

Dedi termasuk beruntung, karena bisa melakukan operasi bypass gratis lantaran biayanya ditanggung Jaminan Kesehatan Masyarakat. Padahal uang yang dibutuhkan untuk membayar operasi mencapai Rp 70 juta. “Untuk obat-obatan lanjutan, seperti obat pengencer darah, diambil dari zakat para dokter di sini,” ujar Fauzi.

Keberuntungan juga datang pada Erna Mulyani, 21 tahun. Berkat penanganan tim poli jantung Rumah Sakit Hasan Sadikin, kini penjaga toko di Ciparay, Kabupaten Bandung, itu sudah bisa tersenyum. Dua juga sudah bisa lari pagi. Dia tak lagi merasakan nyeri di dada kirinya. Jauh berbeda dengan beberapa bulan lalu. Saat itu ia hanya bisa terkapar jika dada kirinya ngilu tak keruan hingga sulit bernapas.

Riwayat kesehatan Erna ternyata sudah buruk sejak kecil. Itu terlihat dari bentuk dadanya yang menggembung seperti dada burung. Namun, karena hanya anak seorang buruh tani, ia tak bisa berbuat banyak. Selepas sekolah menengah kejuruan di Baleendah, Erna melamar kerja sebagai buruh ke beberapa pabrik yang tak jauh dari rumahnya. Tapi dia tak diterima dengan alasan kesehatan.

Akhirnya ada sebuah toko yang menerimanya bekerja tanpa tes kesehatan. Nah, dengan uang yang tak seberapa, Erna baru berani memeriksakan diri ke dokter umum. Dokter mendiagnosisnya sakit paru. Namun, setelah minum obat, kesehatan Erna tak juga ada perkembangan. Ini yang mendorongnya memeriksakan diri lebih komprehensif. Akhirnya, setelah dilakukan foto rontgen, ternyata bukan parunya, tapi jantungnyalah yang bermasalah.

Dokter menyuruh Erna melakukan operasi. Namun, bukan perkara mudah, selain takut pada pisau bedah, operasi jantung butuh duit yang tak sedikit, sekitar Rp 58 juta.

Lalu Erna dirujuk ke Rumah Sakit Hasan Sadikin. Di sana dokter mendeteksinya terkena atrial septal defect, suatu penyakit jantung bawaan yang terjadi karena adanya lubang pada sekat serambi kiri dan kanan jantungnya sehingga membuat jantung jadi membesar.

Sebulan setelah mendaftar, Erna dijadwalkan dioperasi pada 21 Agustus. Tim poli jantung Rumah Sakit Hasan Sadikin memutuskan mengambil tindakan operasi penutupan sekat jantung. “Kalau terlambat, sudah, tidak dapat dioperasi,” kata dokter Rama Nursjiwan. Ongkos operasi senilai Rp 54 juta menjadi nol rupiah berkat Jaminan Kesehatan Masyarakat. “Sekarang sudah lumayan. Lebih fit. Saya bisa segera bekerja lagi,” ujarnya.

Seorang pasien lagi adalah tukang batu--sebut saja bernama Asep--yang terkena serangan jantung. Ketika dokter meminta persetujuannya melakukan intervensi jantung--pemasangan balon dan cincin (stent)--dia hanya diam, tegang. “Terserah dokter,” katanya singkat. Dokter pun meyakinkan semua tindakan medis benar-benar gratis. Stent dan balon sudah disuplai dari Departemen Kesehatan. Kuli bangunan itu akhirnya setuju.

Asep tak menduga sebelumnya, dapat memperoleh perawatan “mewah” cuma-cuma. Bila tak menggunakan Jaminan Kesehatan Masyarakat, biaya pemasangan stent butuh Rp 30 juta.

Dedi, Erna, dan Asep adalah tiga dari lima penderita jantung yang dioperasi gratis bulan lalu. Menurut Direktur Rumah Sakit Hasan Sadikin Profesor Cissy Kartasasmita, operasi jantung gratis bagi warga miskin memang mulai dilakukan lagi tahun ini. Beberapa tahun lalu sempat ada, tapi terhenti karena keterbatasan tenaga, dana, serta banyaknya peralatan yang rusak. Tahun ini ada beberapa tenaga baru di bagian jantung. Selain itu, rumah sakit mendapat tambahan dana subsidi.

Menurut Cissy, di masa mendatang, rumah sakit yang dipimpinnya akan menjadi beking Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta, untuk menangani pasien miskin melakukan operasi jantung. Maklum, Rumah Sakit Harapan Kita mulai kewalahan. “Apalagi penderita jantung di Jawa Barat termasuk tinggi. Setidaknya sekitar 7.000 orang per tahun,” katanya. Dari angka tersebut, sebagian besar merupakan penderita jantung koroner--penyakit pembunuh nomor satu di Indonesia. Dengan bantuan intervensi kardiologi, angka kematian penderita mulai dapat ditekan.

Menurut Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, setiap warga miskin yang memiliki kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat sebenarnya bisa dilayani. “Semua rumah sakit pemerintah harus melayani, untuk semua penyakit,” katanya kepada Rini Kustiani dari Tempo pekan lalu.

Anggaran yang disediakan pemerintah untuk program ini pada 2008, Rp 4,6 triliun, yang dialokasikan untuk 76,4 juta jiwa. Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Departemen Kesehatan Chalik Masulili menambahkan, 888 rumah sakit umum dan swasta bisa menerima peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat. Besaran dana yang disalurkan untuk peserta program Jaminan Kesehatan ini, 20 persen dari total anggaran Departemen Kesehatan. Dari jumlah itu, hanya dua persen digunakan untuk menangani penyakit yang membutuhkan penanganan serius atau operasi besar.

Ahmad Taufik, Widiarsi Agustina (Bandung)

Tumbuh dengan Kekuatan Lokal

Industri kreatif di beberapa daerah berkembang dengan jalannya masing-masing. Mengutamakan ciri khas setempat.


Lupakan Bandung. Industri kreatif di sana sudah karatan. Banyak kota lain di Indonesia punya kisah tak kalah menarik dibanding ibu kota Priangan itu. Ada fashion jalanan nun di Jember, juga industri kreatif yang tumbuh berdampingan dengan warisan kultural di Yogyakarta, atau Bali yang tak pernah berhenti berkreasi. Mereka berusaha tumbuh dan membesar dengan caranya masing-masing.


Jember
Fashion Jalanan

Jalan protokol di Kota Jember sepanjang 3,6 kilometer disulap menjadi catwalk. Peragawati dan peragawan memamerkan beragam busana yang terbuat dari bermacam bahan, termasuk dedaunan dan bulu-bulu. Mereka tampil berani dan atraktif. Para peraga itu tidak harus cantik dan tampan atau bertubuh langsing dan tegap. Mereka boleh pendek, gendut, dan memiliki ukuran tubuh apa adanya. Sekitar 200 ribu penonton tumplek blek memadati arena pertunjukan.

Itulah keramaian Jember Fashion Carnaval (JFC), yang digagas Dynand Fariz. Kemeriahan yang berlangsung pada awal Agustus lalu itu merupakan yang ketujuh kalinya. Meski Dynand mengaku tak menghitung pendapatan dari acara yang makin ramai tersebut, berkat karnaval busana itu, dia jadi pesohor. Dynand beberapa kali diundang ke Jakarta, sebagai salah satu wakil penggerak industri kreatif di daerah. Pria 45 tahun itu bahkan diberi kesempatan mempromosikan Jember Fashion Carnaval ke India dan Inggris.

Awalnya, ide Dynand tak lebih sebagai bahan tertawaan. Bagaimana mungkin memperkenalkan kota berpenduduk dua juta jiwa lebih di Jawa Timur yang dikenal sebagai “kota santri” itu dengan karnaval ala Rio de Janeiro, Brasil. "JFC ditanggapi negatif. Dianggap mimpi di siang bolong. Bertolak belakang dengan tradisi, budaya, religi masyarakat," kata Dynand.

Dasar Dynand ndableg, dia dan kawan-kawannya sesama alumnus Jurusan Seni Rupa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Surabaya jalan terus. Dynand mencoba meyakinkan banyak pihak bahwa dunia mode dan fashion bukan monopoli kelas atas yang diperagakan di mal atau hotel berbintang. “Bisa dilakukan masyarakat bawah, di catwalk terbuka, seperti jalan raya,” kata Dynand. Bahan-bahannya pun bisa dibikin dari kain bekas, botol plastik, atau kulit, daun, dan akar tanaman. Semuanya dibikin secara kreatif-eksperimental.

Motivasinya satu: prihatin atas perkembangan daerahnya; banyak anak muda yang tak mampu melanjutkan sekolah dan tak memiliki masa depan jelas. "Saya bertekad membuat sesuatu yang melibatkan mereka dan menjadi kebanggaan diri dan masyarakat Jember."

Awalnya, Dynand memulai karnaval fashion dengan 45 orang berkeliling kampung dan alun-alun Jember pada 2002. Makin tahun pesertanya makin ramai dan meriah. Hingga pada 2007, ketika ada “Bulan Berkunjung ke Jember”, karnaval fashion menjadi salah satu acaranya. Dynand bercita-cita Jember menjadi kota wisata mode pertama di Indonesia.


Yogyakarta
Desain Lokal Kaya Sindiran

Kota gudeg ini sudah lama dikenal sebagai salah satu pusat industri kreatif, terutama kerajinan. Tapi budaya urban pun tak kalah punya pengaruh di kota yang masih punya “raja” ini. Dagadu, misalnya, sebuah bisnis kaus berbasis kata-kata lucu. Karena laku, bisnis ini kemudian diproduksi besar-besaran dan banyak ditiru. Bukan hanya batik dan kerajinan tradisional, Dagadu pun sudah menjadi salah satu identitas Yogyakarta.

Selain Dagadu, masih banyak industri kreatif yang menyerap budaya urban. Misalnya di ujung gang di Jalan Kaliurang Kilometer 7,8, Kabupaten Sleman. Di sana ada sebuah rumah mungil yang memproduksi beraneka desain grafis. Produknya dijual sampai ke Singapura. Indieguerillas, begitulah si pendiri--pasangan suami-istri Miko Bawono dan Santi Ariestyowanti--menamakan bisnisnya.

Mereka terilhami oleh cara gerilya tokoh revolusioner dari Amerika Latin, Che Guevara. “Model kerja kami pada awalnya kan bergerilya juga, dengan membaca buku, bahkan bolak-balik ke Jakarta, untuk melihat-lihat model desain. Sebab, waktu itu Internet belum masuk. Di Yogyakarta pun, buku soal desain grafis terbatas,” kata Santi.

Desain cover album milik grup musik Sheila on 7, Kisah Klasik, pada 1999, adalah bisnis pertama yang mampir. Karena grup band-nya terkenal, tawaran pun berdatangan. Tapi mereka menolak ketika diajak boyong ke Jakarta. Kenapa? Ya, karena mereka sudah punya komunitas di Yogyakarta--mereka punya bahasa dan guyonan yang sama serta tempat nongkrong seselera pula.

Tidak hanya menolak pindah ke Ibu Kota, gaya desain pun tak mau meniru tren yang ada di Jakarta. Desain Indieguerillas mencampurkan budaya lokal dan selera muda. Misalnya menggunakan tokoh Bagong yang mengenakan pakaian penyanyi rap. “Ada kesan lucu, ada sindiran,” kata Santi.

Modal? Jelas masih jadi masalah. Pada 2002, misalnya, dari hasil kumpul-kumpul dengan teman-teman, mereka menerbitkan majalah dua bulanan, Outmages, tapi macet karena kurang modal.

Toh, dengan semangat “kekeluargaan”, Indieguerillas tetap hidup, bahkan berkembang. Tak jarang, sekali pesanan bernilai puluhan juta rupiah. “Jika ada order, kami juga membaginya ke teman-teman. Kami yang menangani desain, teman percetakannya, fotografernya, dan sebagainya. Kolektiflah,” kata Santi. “Jadi, prinsipnya, kerja sambil menghidupi teman,” ujarnya.


Denpasar
Desa Masuk Kota

Desa Kertalangu terletak di Kota Denpasar, tepatnya di tepi Jalan Bypass Ngurah Rai. Lanskap seluas 80 hektare itu bukan desa “kesasar” masuk kota, tapi sengaja dibuat agar ciri pedesaan Bali--lengkap dengan sawah hijaunya--bisa hadir di kota itu.

Dan seperti layaknya Bali yang sudah banyak dikenal orang sebagai daerah wisata eksotis dan natural, Desa Kertalangu “didesain” sesuai dengan kriteria itu. Menurut penggagasnya, Dewa Gede Ngurah Rai, 43 tahun, kawasan yang mulai dibuka pada Juni 2007 itu berusaha mengawinkan upaya pelestarian pertanian, seni budaya, dan usaha kerajinan.

Di sana tersedia berbagai fasilitas, dari jogging track, pemancingan, pijat dan spa, restoran, panggung kesenian, sampai pasar seni. Masih ada kursus kilat membatik, membuat keramik, lilin, atau kerajinan gelas, dan aktivitas lain. Untuk sekadar menyusuri jogging track, pengunjung tidak dikenai bayaran. Tapi, jika mau ikut berbagai kursus, turis lokal harus membayar Rp 20 ribu, sedangkan turis asing US$ 7 atau hampir Rp 70 ribu.

Lahan yang digunakan merupakan milik para petani Desa Kesiman Kertalangu. Mereka sepakat tak menjual tanahnya dan bertahan sebagai petani. Mereka pun tetap mengerjakan sawah dan mengambil hasilnya. Tentu saja dengan tambahan kreativitas, yaitu menguji coba bibit unggul dan menerapkan pertanian organik.

Dewa Rai juga membangun fasilitas di atas lahan seluas tiga hektare agar lahan pertanian layak menjadi obyek wisata. “Kalau pertanian hilang, budaya Bali juga akan hilang. Kami tidak mau mengalami nasib seperti warga Betawi di Jakarta,” ujarnya.

Desa Kertalangu juga menjadi sebuah komunitas. Tenaga yang bekerja di berbagai fasilitas berasal dari desa itu, termasuk penari dan penabuh gamelan yang menghibur tetamu. Turis dapat mempelajari aneka kerajinan, menikmati suasana persawahan, dan menonton pertunjukan seni tradisional Bali. Pokoknya, Bali banget….

Ahmad Taufik, Mahbub Djunaidy (Jember), Rofiqi Hasan (Denpasar), Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta)

(dimuat di Majalah Tempo 22-28 Sept 2008)

Melebur Bersama Scat dan Lagu Cinta

Vokalis jazz Al Jarreau berkolaborasi dengan gitaris jazz yang lebih dikenal sebagai pelantun lagu romantis, George Benson. Penonton serasa ikut tampil bersama mereka.

***
“Jakartaa…, Indoooooonesiaaaa.” Dua kata ini menyelip dalam scat singing--improvisasi vokal menirukan suara instrumen musik--khas Al Jarreau, yang meluncur dalam jeda dan diikuti penonton. Terdengar gemuruh tawa. Penyanyi kelahiran Wisconsin, Amerika Serikat, 68 tahun lalu itu juga ikut terbahak.

Bunyi-bunyian dan kata-kata di mulut Jarreau memang menjadi ornamen yang memikat. Di telinga terdengar ritmis dan harmonis. Dari olah vokal Jarreau, jazz seolah kembali ke sejarah awal kemunculannya, dari kaum budak asal Afrika yang bekerja di Amerika pada abad ke-19. Waktu itu musik masih merupakan sarana untuk mengadu, mengeluh, dan membicarakan nasib, sekaligus menghibur diri dalam impitan kehidupan. Berbeda dengan masa kini--ketika jazz sering diposisikan sebagai musik kaum kelas atas.

Bukan hanya ceracau dan tiruan bunyi alat musik, jari-jari Jarreau begitu dinamis, tak bisa diam. Kadang dia seperti memegang grip di gagang gitar--jemarinya seolah “mengeritingkan” dawai. Panggung yang minim dekorasi menjadi hidup. Tapi tentu saja panggung bisa menjadi apa pun, sebab dia adalah legenda. Dia telah menyabet tujuh penghargaan Grammy dalam periode empat dasawarsa, di kategori jazz, R&B, dan pop (dia satu-satunya penyanyi pria yang berhasil merajai tiga kategori yang berbeda ini).

Pertunjukan seusai salat tarawih di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu dua pekan silam itu dibuka dengan Breezin’. Nomor legendaris George Benson, remake dari karya Bobby Womack, ini merupakan lagu pertama dalam album kolaborasi Jarreau dan Benson, Givin’ It Up. Jarreau dengan piawai “memverbalkan” Breezin’, sedangkan Benson merenyahkannya dengan petikan dawai Ibanez hollow body-nya yang memang terdengar empuk, dan sesekali menambahi dengan vokalnya.

Usai satu lagu, Benson mundur ke belakang panggung, scat singing Jarreau makin hidup dengan Your Song, We’re in This Love Together, Cold Luck, Mornin’, Take Five, Midnight Sun, dan medley cantik “campursari” Agua de Beber serta Mas Que Nada.
Benson muncul lagi, bersanding dengan Jarreau, melantunkan Long Come Tutu. Lagu ini dipersembahkan untuk uskup penggerak perdamaian asal Afrika Selatan, Desmon Tutu.

Lalu panggung berganti pemilik. Kali ini Benson melantunkan lagu-lagu cinta yang akrab di telinga penonton, seperti Nothing’s Gonna Change My Love for You, In Your Eyes, dan The Greatest Love of All. Tampak semua penonton berdiri mengikuti musisi kelahiran Pittsburgh, Amerika Serikat, 65 tahun silam itu. Mereka seperti melebur bersama musik yang dimainkan. Mungkin mereka punya perasaan serupa: kenangan dimabuk cinta pada 1980-an. Ya, siapa yang tidak kenal--meski boleh juga tak suka--dengan lagu-lagu cinta abadi itu.

Tak sekadar menyanyi, setelah membawakan In Your Eyes, Benson bercerita. Dia bertemu seorang perempuan di bar hotel tempatnya menginap. Dia masuk ke bar, namun tak ada yang mengenalnya. “Lalu saya menyanyikan sepotong bait In Your Eyes. Perempuan itu langsung menyahut, ‘O, ya, malam ini George Benson tampil.’ Ternyata orang lebih kenal lalu-lagu saya daripada orangnya, ha-ha-ha...,” katanya.

Kolaborasi Jarreau dan Benson makin seru di tiga lagu terakhir. Seolah ada interaksi tiga pihak: musisi, musik, dan penonton. Masing-masing punya improvisasi sendiri, namun terasa padu.

Penampilan mereka berdua di Jakarta--yang diselenggarakan oleh promotor Buena Production--merupakan persinggahan terakhir di Asia untuk mempromosikan album Givin’ It Up, yang dirilis pada 2006. Sebelumnya mereka tampil di Seoul, Manila, Beijing, Shanghai, Hong Kong, dan Bangkok. Secara terpisah, baik Jarreau maupun Benson sudah pernah menggelar pertunjukan di Jakarta.

Pertunjukan kolaborasi mereka memang menghibur, meski ada yang menganggap kurang maksimal, atau ada yang menilai duet yang sedikit dipaksakan. Bagaimanapun, Jarreau dan Benson adalah kolaborasi manis sekaligus bernilai komersial, setelah karier mereka melampaui puncak. Musik pop dengan sentuhan jazz yang mereka sajikan cocok untuk pasar “dewasa kontemporer”.

Dan penonton pun tak beranjak sampai pertunjukan benar-benar usai, saat Every Time You Go Away, karya Daryl Hall yang sempat dipopulerkan oleh Paul Young, berkumandang: Every time you go away/You take a piece of me with you....

Ahmad Taufik
(dimuat di MBM Tempo 22-28 September 2008)