Kamis, Januari 01, 2009

Ngetem Setahun



Bersyukur akhir tahun kali ini keluarga kami tak keluar kota atau menyewa hotel atau apartemen seperti tahun-tahun sebelumnya. Maklum setiap tanggal 31 Desember, kami sekeluarga berkumpul merayakan hari ulang tahun ibu kami “Umi tercinta”.

Sebenarnya, tradisi acara ulang tahun tak ada dalam keluarga kami. Jikapun ada hanya untuk anak-anak, sekadar ramai-ramai, senang-senang dan ajang silaturahmi. Namun, sejak ayah kami tiada, meninggal pada 1996, Suharto tumbang dan beberapa anggota keluarga kami berkecukupan, kami merayakan ulang tahun untuk Umi. Selain sebagai ucapan terima kash, bersyukur pada yang Maha Kuasa, juga mempererat tali silaturahmi di tengah kesibukan masing-masing. Acara ulang tahun itu juga kami gunakan untuk senang-senang, sekaligus ikut kemeriahan menyongsong tahun baru.

Nah, pada perayaan ulang tahun ke 68 Umi (ibu), kami rayakan dengan sederhana. Sungguh menarik justru keinginan acara sederhana itu dating dari Umi Sendiri. “Kita harus prihatin, di tengah gempuran Israel terhadap Bangsa Palestina, masak kita harus hura-hura, kita harus prihatin,”katanya.

Sekaligus mendoakan orang-orang Palestina yang tengah digempur Zionis Israel, dan juga dua family kami di Surabaya yang baru saja meninggal dunia dalam sepekan ini acara ulang tahun, dibuka dengan pembacaan tahlil dan doa. Setelah doa, makan-makan dan tentu lengkap dengan tiupan lilin pada kue ulang tahun berbentuk landak bersalut coklat. Melengkapi kemeriahan untuk kesenangan anak-anak ada kembang api sederhana dipasang di depan rumah ibuku di Kebon Pala Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Waktu belum pukul sebelas malam, semua acara sudah usai. Ibuku sudah lelah masuk ke peraduannya, keluarga yang lain satu persatu mulai kembali ke rumah masing-masing. Isteri dan naku masih mau menginap di kebon pala, karena pagi harinya anakku akan diajak pergi ke luar kota oleh adikku. Aku yang sudah lelah, setelah menginap di kantor mengejar target deadline, sudah ingin pulang ke rumah di Parung Bingung, Depok, melepas kelelahan, menikmati udara segar.

Paling males pulang, apalagi tahun baru saat menghadapi kemacetan. Kebetulan seorang kawan dari Partai Kroni Suharto (sekeran begitu aku menyebutnya) akan rapat partai malam itu bawa mobil ke arah Jakarta Selatan. Pucuk dicita angkutan numpang tiba. Aku ikut dia dan turun di tengah jalan dekat Kebon Binatang Ragunan. Seperti biasa naik angkutan kota (angkot), kalini nomor 61 Pasar Minggu ke Pondok Labu.

Di angkot itu supir dengan seorang perempuan berbahasa Jawa. Bercerita soal perselingkuhan dan lain sebagainya, tampak dari pemibicaraan mereka, sang perempuan sedang teasing si sopir. Di Pasar Pondok Labu, aku turun dan berganti dengan angkot lain nomor 102 yang akan membawaku ke Parung Bingung.

Waktu masih pukul setengah dua belas malam. Saat aku naik angkot yang masih ngetem, menunggu penumpang. Di dalam angkot seorang perempuan dengan anak kecil yang melonjor di bangku. Di seberangnya seorang laki-laki muda, jok di sebelah sopir ada penumpang. Kesalahanku naik angkot yang ngetem disaat penumpang sungguh memang sepi, beberapa kali memang bisa sampai satu jam menunggu. Ternyata angkot yang ini juga begitu, hanya maju mundur, tak jalan-jalan, tak ada tambahan penumpang juga. Bebeberapa timer berbahasa Jawa, nampak dengan minuman keras murahan yang dituang dalam gelas bekas air dalam kemasan plastik. Mereka bercanda, bahkan kadang-kadang sang timer mencegah sopir jalan, dengan alasan akan segera ad penumpang.

Sampai waktu pergantian tahun tiba, sebuah pasar baru di kawasan Pondok Labu ramai memasang kembang api berdentum-dentum. Di jalan juga beberapa orang memasang kembang api, dan suara terompet memeriahkan suasana. Aku maih di angkot, pemuda yang duduk di pojok satu barisan, terdengar mendengus mengeluh karena angkot tak jalan-jalan juga. Sopir malam bercanda dengan timer, “ha…ha…aku angkot paling lama ngetem, setahun,”katanya. Berkali-kali diang mengatakan, “ngetem setahun…ngetem setahun.”

Benar saja sejam angkot itu ngetem sejak 23.30 di tanggal 31 Desember 2008, baru jalan tiga puluh menit selepas tengah malam pada 1 Januari 2009. Pas jalan, terjebak macet pula, karena kemeriahan di pasar baru Pondok Labu, masih berlangsung, lalu lalang penontong yang menonton maupun yang kembali pulang setelah menyaksikan pesta kembang api di tempat itu. Setengah jam dalam kemacetan.

Selepas itu tak ad lagi kemacetan, yang ada tiupan angin dingin menyergap lewat pintu. Angkot ngebut, karena di depan ada lawannya. Debu-debu berterbangan dari jalan yang baru saja di semen. Pembangunan tanpa perencanaan matang.

Parung Bingung, 1 Januari 2009

Tidak ada komentar: