Sabtu, April 26, 2008

Laporan Hak Asasi Manusia 1998

Pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia masih terus terjadi. Bahkan sepanjang tahun 1998 merupakan puncak dari pelanggaran hak asasi manusia yang berakhir dengan ‘dipaksaturunnya’ penguasa tunggal sang penentu pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, Soeharto.

Soeharto, meletakkan jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia, pada 21 Mei 199, setelah berkuasa selama 32 tahun lebih. Turunnya Soeharto tentu saja tidak berjalan mulus, setelah ditandai dengan tertembaknya 4 orang mahasiswa Universitas Trisakti, dan ratusan orang luka-luka akibat kekejaman aparat keamanan terhadap unjuk rasa mahasiswa pada 12 Mei.

Peristiwa itu memicu kemarahan masyarakat, yang dimanfaatkan oleh kekuatan preman untuk membuat kerusuhan pada 13-14 Mei, yang memakan korban ratusan warga keturunan Cina dibunuh dan diperkosa, serta ribuan rakyat terpanggang api, di tengah reruntuhan dan puing-puing bangunan megah di ibukota Jakarta.

Untuk mencegah kerusuhan yang lebih luas dan keadaan yang tidak menentu, ribuan mahasiswa berduyun-duyun datang ke gedung MPR/DPR dan menguasai gedung itu sejak 16 Mei, sampai akhirnya Soeharto, mengalihkan jabatannya tanpa pertanggungan jawab lebih dahulu kepada Wakil Presiden Bachruddin Jusuf Habibie.

Walaupun Soeharto sudah tak berkuasa lagi, pelanggaran hak asasi manusia masih terus berjalan. Pemerintahan BJ Habibie dengan perangkat kekuasaannya, baik institusi birokrasi sipil, maupun mesin perang militer terus melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Yang paling menonjol adalah terjadinya konflik horizontal antar masyarakat.
Konflik itu berhasil dibangun pemerintahan sesudah Soeharto turun dengan cara merekayasa kelompok masyarakat lain melawan kelompok masyarakat lainnya. Ini dapat dilihat dengan adanya PAM Swakarsa untuk melawan mahasiswa saat unjuk rasa menentang Sidang Istimewa MPR. Kemudian dibentuknya lembaga, ekstrayudisial lain, DPKSH dan rencana merekrut rakyat dengan pasukan baru, rakyat terlatih.

Tahanan dan Narapidana Politik

Pembebasan tahanan politik (Tapol) dan narapidana politik (Napol) merupakan langkah politik yang seharusnya dilakukan pemerintahan Bachruddin Jusuf Habibie sebagai upaya melakukan rekonsiliasi nasional. Hal ini untuk membedakan pemerintahan yang lalu, rezim orde baru di bawah Jenderal (purnawriawan) Soeharto, dengan pemerintahan yang baru orde reformasi. Tapi, ternyata hal itu tak dilakukan Habibie dengan tuntas. Masih adanya kekhawatiran terhadap bahaya tapol/napol korban politik orde baru yang dilepas, menunjukkan pejabat pemerintah masih terjebak dalam proses pembodohan yang dilakukan pemerintah orde baru selama 32 tahun.

Menurut Koordinator Aksi Pembebasan Tapol/Napol, Gustaf Dupe, pemerintah Habibie seharusnya membebaskan semua tapol/napol yang menjadi korban politik pemerintahan orba. Kalau pemerintah BJ Habibie ingin melakukan reformasi dan rekonsiliasi nasional. ‘’Ini langkah hakiki politik ke depan kalau mau rekonsiliasi. Tanpa pembebasan itu, rekonsiliasi hanya omong kosong,’’katanya.(Kompas, 8 Januari 1999). Dupe mempertanyakan, cara pemerintah yang masih setengah hati membebaskan tapol/napol yang menjadi korban politik orba itu, sedangkan Soeharto sebagai Presiden yang gemar memenjarakan orang yang tidak disukainya dan berbeda pandangan politik sudah turun dari jabatannya.

Padahal setelah Soeharto tumbang dan Presiden baru BJ Habibie membebaskan beberapa tahanan dan narapidana politik empat hari setelah ia berkuasa, timbul sebersit harapan. ‘’Tak perlu takut lagi mengkritik pemerintah, karena tak akan lagi dipenjarakan bagi mereka yang bersuara keras. Sedangkan yang sudah terlanjur dipenjara dan ditahan sudah mulai ada yang dilepaskan. Apalagi dengan, kata-kata manis dari Menteri Kehakiman Muladi,‘’ mereka akan diberi amnesti (ampunan).’’ Namun kata-kata Muladi itu tidak hanya berhenti sampai disitu, ada kata-kata yang menandakan pemereintahan BJ Habibie masih kepanjangan tangan dari rezim yang lama, rezim Soeharto yang menindas. Kata-kata itu hanya sedikit, ‘’tapi harus selektif,’’ujar Menteri Kehakiman. Namun berimplikasi jauh dan menyakitkan.

Orang yang masuk dalam pemberian pengampunan versi Muladi, terutama orang yang mengkritik pemerintah, lalu dihukum dengan pasal-pasal penyebar kebencian atau hatzaai artikelen. ‘’ Nah, pasal-pasal hatzaai artikelen, yang terdapat pada pasal 154-156 KUHP, itu, warisan kolonial. Undang-undang itu termasuk UU anti subversi sudah sejak lama saya berfikir, tidak layak lagi diterapkan di Indonesia,’’katanya.

Sebagai langkah awal pemerintah membebaskan Sri Bintang Pamungkas (Ketua PUDI) dan Muchtar Pakpahan (Ketua SBSI), Selasa dinihari pekan lalu. Lalu paket berikutnya, 5 orang lagi, antara lain Nuku Sulaiman (pembuat stiker Soeharto Dalang Segala Bencana -SDSB) dan Andi Syahputra (pencetak Majalah Suara Independen). Tuntutan dan unjuk rasa agar seluruh tapol dan napol dibebaskan semakin meruyak. Malah dua hari sebelum Bintang dan Pakpahan bebas, di Penjara Cipinang, Jakarta Timur diadakan selamatan atas kemenangan reformasi.

Ratusan orang hadir, termasuk jurnalis cetak, elektronik dalam dan luar negeri. Mulai dari berambut pirang, bermata sipit sampai orang-orang berkulit hitam. Memang tampak yang hadir sangat beragam. Mungkin itulah awal reformasi menuju demokrasi. Para sipir juga tak memasang tampang angker seperti biasanya, saat Suharto masih berkuasa. ‘’It’s Amazing,’’kata Timothy Ryan, Ketua Perwakilan Serikat Buruh Amerika Serikat untuk Indonesia.

Para napol juga diberi kesempatan mengungkapkan pikirannya yang selama ini terkekang lewat sel-sel besi dan hanya menggumpal dalam benak. Tapi ada satu kesamaan tuntutan ‘’Bebaskan seluruh tapol dan napol, tanpa kecuali.’’

Selain tujuh orang yang sudah dibebaskan masih ada 179 orang yang ditahan di 25 penjara di seantero nusantara. Selain itu masih ada 8 orang yang ditahan di rumah tahanan militer dan 200 orang lebih yang ditahan dan belum diadili, antara lain menyangkut kasus tanah Belangguan, Jawa Timur, kasus Aceh Merdeka, Timor Timur, dan Irian Jaya. Diantara para narapidana politik itu, 13 orang yang terkait dalam G30S/PKI, 17 orang kasus Lampung. Dua diantaranya perempuan, Nurhayati kasus Aceh Merdeka dan Dita Indah Sari Ketua Umum PPBI (kasus buruh) di penjara perempuan Tanggerang.

G30S/PKI Nanti Dulu

Kebebasan tapol dan napol ini tampaknya masih menjadi kosmetik politik pemerintah Habibie. Ini terbuktinya dari seleksi orang-orang yang dibebaskan. Bintang dan Pakpahan adalah tokoh yang menjadi sorotan internasional, dan dengan harapan pembebasan tapol dan napol ini pemerintah punya bargain yang kuat dengan para kreditor asing, diantaranya, International Monetary Fund (IMF).

Kebebasan tapol dan napol ini berawal dengan dipanggilnya Muladi oleh Presiden B.J. Habibie, Jum’at pekan lalu. Pada pertemuan itu hadir pula beberapa petinggi militer. Hasilnya, ada tiga kreteria para tapol dan napol segera dibebaskan. ‘’Tidak terlibat dalam Gerakan 30 September, bukan gerakan yang berniat mengganti ideologi negara dengan marxisme dan leninisme, serta yang di dalam gerakan politiknya menggunakan cara-cara kekerasan,’’kata Muladi.

Kenapa G30 S/PKI tidak bisa dibebaskan? ‘’Kegiatan 30 September 1965 itu betul-betul suatu kejahatan keamanan nasional,’’ujar Muladi memberi alasan.
Selain G30S/PKI, yang tak akan dibebaskan menurut sumber itu kasus PRD dan Xanana Gusmao. Kenapa? ‘’Itu masalah lain, yang akan kita pertimbangkan. Tapi prinsipnya saya setuju untuk meninjau kembali terpidana politik atau mereka yang tersangkut dengan kasus-kasus politik,’’ujar Muladi.

Dita Indah Sari, Ketua Pergerakan Persatuan Buruh Indonesia (PPBI), yang ditahan sejak awal Juli 1996, karena menggerakkan unjuk rasa buruh di Surabaya Jawa Timur, menolak diberi amnesti. Padahal pemerintah sudah memberikan lampu hijau untuk dibebaskannya pejuang perempuan itu. ‘’Berikan saja kebebasan itu pada orang-orang yang sudah tua,’’katanya. Memang ada syarat untuk pembebasan Dita, yaitu tidak boleh berpolitik sampai tahun 2004. Kekerasan tekad Dita itu akhirnya menyurutkan keinginan pemerintah membebaskannya. terbukti pada saat pengumuman pembebasan narapidana dan tahanan politik pada akhir Desember 1999, nama Dita tidak termasuk dari orang-orang yang dibebaskan. Sama seperti halnya Ustad Hussein Al-habsyi, seorang guru mengaji yang buta yang sampai kini masih mendekam di LP Lowokwaru, Malang, Jawa Timur. Ustad itu menolak mengajukan permohonan grasi kepada pemerintah.

Peristiwa satir terjadi pada pukul 03.00 dinihari, Senin, akhir Juli 1998, jeruji besi sel Wilson bin Nurtiyas digergaji petugas LP Cipinang, Jakarta Timur. Kenapa? Ternyata, Wilson, ketua Departemen Pendidikan dan Propaganda Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) underbouw Partai Rakyat Demokratik (PRD), yang dihukum penjara 5 tahun, menolak keluar dari penjara. Wilson termasuk 50 orang tahanan dan narapidana politik (tapol/napol) yang diberi ampun pemerintah B.J. Habibie.

Penolakan Wilson ini maksudnya agar, semua tapol/napol yang masih ditahan dibebaskan tanpa syarat. Memang, menurut Wilson keberadaan tapol/napol, itu hanya korban politik Suharto untuk melanggengkan kekuasaannya. ‘’Jadi, kalau sekarang Suharto sudah turun, lalu alasan apalagi?’’tanya Wilson. Akhirnya Wilson dan rekannya Ken Budha Kusumandaru, ‘dipaksa keluar’ oleh petugas LP Cipinang. Kejadian seperti itu menandai masih pilih bulunya dalam pembebasan napol/tapol.

Dagangan Politik dan Campur Tangan Militer

Diskriminasi pembebasan tapol/napol itu dikecam banyak pihak. Setidaknya oleh 16 orang tahanan politik yang masih mendekam di LP Cipinang. Menurut Fauzi Isman, napol dalam kasus Lampung, 1989, yang juga salah satu penandatangan surat pernyataan bersama, Xanana Gusmao, Kolonel A.Latief, Budiman Sudjatmiko, Yacob Rumbiak dan lainnya, pembebasan yang dilakukan pemerintah sekarang sekadar dagangan politik untuk kepentingan diplomasi internasional. ‘’Jangan jadikan kami barangan dagangan politik, dong,’’ujar Fauzi.

Pernyataan itu bukan tanpa alasan. Sebab sejak B.J. Habibie menjadi Presiden menggantikan Suharto, orang yang pertama kali dibebaskan adalah tokoh yang menjadi sorotan dunia internasional, Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan. Untuk menutupi itu, belakangan pemerintah juga membebaskan napol/tapol yang masa pidananya tidak sedikit, seperti Nuku Sulaiman, yang akan bebas dua bulan lagi, bahkan ada Ahmad Taufik, dan Eko Maryadi, yang sudah bebas bersyarat sejak Juli 1997 pun dimasukkan dalam daftar orang yang mendapat Amnesti, lucu .

Pembebasan tapol/napol yang diskriminatif itu juga mengundang curiga banyak pihak, bahwa itu hanya kosmetik politik pemerintahan B.J.Habibie. Menteri Kehakiman, Muladi tidak membantah kecurigaan itu, tapi ia berkelit bahwa pihaknya sudah punya kreteria tapol/napol yang akan diberi amnesti atau abolisi.

Kreteria tersebut adalah, tidak terlibat dalam kasus G30S/ PKI, bukan dalam gerakan menggantikan ideologi negara dan tidak ada tindakan pidana lain dalam perkara pidana politiknya. Ternyata, belakangan ketahuan kreteria seperti itu merupakan kebijakan yang keluar dari pertemuan tiga jalur ; Menteri Kehakiman, Panglima ABRI dan Jaksa Agung.

Memang, pemerintah Habibie, tak punya wewenang penuh untuk pembebasan tapol/napol itu, karena berkaitan dengan keinginan militer, yang punya musuh-musuh politik pada masa kejayaannya saat Suharto berkuasa. Setiap orang yang masuk ke penjara dengan alasan politik ; menghasut, menyebarkan kebencian atau permusuhan terhadap pemerintah, stabilitas keamanan dan lain sebagainya, selalu terdapat ‘tangan’ militer turut campur di dalamnya. Ketika saya masuk penjarapun, Menteri Penerangan Harmoko, waktu itu, juga melaporkan kepada Badan Koordinasi Stabilitas dan Keamanan Nasional (Bakorstanas) Daerah DKI Jakarta, meminta agar saya dan kawan-kawan yang menerbitkan Buletin Independen ditindak. Surat tertanggal 25 Januari 1995 itu ditunjukkan polisi penyidik kepada saya untuk meyakinkan bahwa, penahanan dan penyidikan terhadap saya dan dua orang kawan saya Eko Maryadi dan Danang Kukuh Wardoyo, bukan keinginan pihak kepolisian, tapi atas permintaan Harmoko dan militer yang tergabung dalam Bakorstanasda Jaya.

Contoh lain, pemimpin perlawanan untuk Kemerdekaan Timor Leste, Xanana Gusmao, misalnya, walau punya daya tawar tinggi terhadap dunia internasional, masih belum bisa dibebaskan. Karena sampai sekarang ABRI belum memberi ‘lampu hijau’. Apalagi, ABRI punya alasan, Xanana di penjara karena perbuatan pidananya membunuhi tentara saat menjadi pemimpin gerilyawan di Timor Timur. Jadi, kalaupun Xanana dibebaskan, itu karena pemerintah benar-benar sudah terjepit, terutama soal bantuan dari dunia internasional.

Melihat kebijakan seperti itu, tentu saja napol semacam Hussein Alhabsyi yang dihukum seumur hidup karena tuduhan sebagai dalang peledakan Candi Borobudur, 1985 tidak bisa bebas. Karena guru ngaji tuna netra yang kini masih ditahan di LP. Lowok Waru, Malang, Jawa Timur tak punya modal apa-apa sebagai daya tawar politik ke dunia internasional.

Militer dalam hal ini ABRI selalu campur tangan dalam urusan politik.Di rumah tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta Pusat, misalnya, buku kunjungan yang berisi daftar tamu yang mengunjungi selalu diminta oleh pihak militer yang diwakili Komando Distrik Militer (Kodim) Jakarta Pusat untuk difotocopy. Para petugas petugas jaga kunjungan di Rutan Salemba, mengaku tak bisa menolak permintaan Kodim.

Menurut keterangan pers akhir tahun 1998 Departemen kehakiman, dalam rangka pemberian amnesti, abolisi, grasi dan rehabilitasi terhadap narapidana/tahanan politik, Departemen Kehakiman telah membentuk tim kelompok kerja nasional pembebasan napol dan tapol yang terdiri dari unsur-unsur Departemen Kehakiman, Departemen Luar negeri, departemen dalam negeri, departemen hankam, kejaksaan Agung, Bakin, BIA dan Polri. Dari data-data yang dihimpun tim tercatat 232 narapidana/tahanan politik yang tersebar di berbagai Lapas/Rutan di seluruh Indonesia. Yang sudah dibebaskan sampai Bulan November 1998 sebanyak 109 orang berdasarkan keputusan presiden N0.80/1998, 82/1998, 85/1998, 105/1998, 123/1998, 125/1998, 126/1998, 127/1998 dan nomor 42/G/1998 dengan perincian : 39 memperoleh amnesti, 62 orang abolisi, 3 orang grasi dan 5 pembebasan bersyarat. Sekarang ini sedang diproses pemberian amnesti sebanyak 22 orang, 7 orang abolisi, 16 orang grasi, dan rehabilitasi 26 orang. Tim pokjanas pembebasan narapidana/tahanan politik masih terus melakukan seleksi terhadap narapidana/tahanan politik yang memenuhi persyaratan memperoleh pembebasan untuk diajukan kepada Presiden. (28 Desember 1998).

Berdasarkan surat keputusan presiden B.J.Habibie No.101/G/1998, tertanggal 31 Desember 1998, memberikan grasi kepada 16 orang tahanan politik Islam, terdiri dari 15 orang yang terkait dengan peristiwa Lampung dan satu orang yang terlibat dalam kasus Komando jihad di Medan.

Sedangkan berdasarkan keputusan presiden No.202/1998, diberikan amnesti pada 20 orang narapidana dalam kasus Timor Timur. Pada keputusan No.203 diberikan rehabilitasi pada 26 orang narapidana yang telah menjalani hukuman semuanya narapidana politik Islam.

Tahanan dan narapidana politik selama Suharto berkuasa....
Dilepas oleh pemerintahan transisi Habibie
Rombongan pertama
Rombongan kedua

Kloter Akhir Desember 1998

Grasi kepada :
1. Sudarsono alias Masdar, pidana penjara 17 tahun dalam kasus Lampung dan dituduh melakukan tindak pidana subversi, bebas dari kewajiban menjalani sisa penjara yang masih harus dijalaninya.
2. Tardi Nurdiansyah, kasus Lampung penjara, 17 tahun.
3. Fauzi bin Isman, kasus Lampung 20 tahun penjara
4. Sugeng Yulianto alian Sugimin, kasus Lampung, pidana penjara seumur hidup ditahan di LP Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
5. Riyanto alias Yanto, seumur hidup, kasus Lampung, LP Nusakambangan.
6. Hariyanto bin Yusuf, kasus Lampung, seumur hidup, LP Nusakambangan.
7. Fachruddin alias Sukirna, kasus Lampung, seumur hidup, LP Nusakambangan
8. Zamzuri bin Muh Raji, subversi kasus Lampung, seumur hidup, LP Nusakambangan
9.Fadhillah alias Sugito bin Wiryo Perwito, subversi Lampung, seumur hidup, LP Nusakambangan
10.Abadi Abdullah bin Siswo Martoto, penjara 20 tahun, subversi Lampung
11. Munjaeni alias Munjen, kasus subversi Lampung, 20 tahun penjara
12. Solihin alias Shodikun, kasus subversi Lampung, 13 tahun penjara
13. Arifin bin Kayan, kasus subversi Lampung, 15 tahun penjara
14. Muh.Mushonif bin Ahmad Marzuki, 20 tahun kasus subversi Lampung.
15.Sri Haryadi alias Sofyan bin Sukam, pidana penjara seumur hidup dalam kasus subversi Lampung.
16. Timzar Zubil alias Sudirman, penjara seumur hidup komando jihad -pengikut Imron, LP Tanjung Gusta, Medan.

Amnesti untuk :
1. Alipio Pascoal Gusmao, Rutan Bau Cau
2. Paulino Cabral
3. Mario Jose Maria
4. Miguel Da Jesus
5. Agustino Da Costa Belo alias Acai/Agus
6. Eusibio Dos Anjos Marques
7. Alberto Freitas
8. Lamberto Freitas
9. Chlermi Soares
10. Joaquim Carvalho De Araujo alias Lalete, Rutan Ermera
11. Luis Gonzaga
12. Helder Martins
13. Manuel Gomes
14. Matheus Carlos Tilman
15. Lorico Lopes, Rutan Maliana
16. Zakarias Sake
17. Hernani Doelindo De Araujo
18. Rui Laku Mau
19. Basco Da Gama
20. Tito Dos Reis

Abolisi diberikan pada tersangka :
1. Alfonso Manuel alias Matitfei, Lapas Dili
2. Matias Marsal Soares alias Furama
3. Dominggus Pereira alias Timas
4. Matias Guovea alias Hunuk
5. Sesario Freitas, Rutan Bau Cau
6. Aniceto Soares
7. Miguel Correira

Rehabilitasi diberikan kepada :
1. Haji Abdul Gani Masykur
2. Muhammad Noer Husain
3. Achmad Husain
4. Achmad Maman Haji Suaeb
5. M. Ali Wahab
6. Muhdar Yahya
7. Muhammad Nur Djafar
8. Ahsin Jumana
9. Abdullah Yakub
10. Mansyur
11. Yusuf Abdullah
12. Abubakar Mansyur
13. Ahmad Jafar
14. Rusli M.Nur
15. H. Sulaiman M. Ali
16. H.Usman Adam
17. Muhtar Hadiyono
18. Agus Fachry H.Abdul Gani Masykur
19. Anwar bin H.Muhammad
20. Kusjaya Firman Kasa
21. Abdul Hakim
22. Zaenal Arifin alias To’o
23. Muhammad Mahmud
24. Abubakar Ismail
25. Ichwanuddin Ibrahim
26. Prof.H.Oesman Al-Hamidy


Masih menunggu beberapa tahanan politik dan narapidana politik yang belum dibebaskan. Diantaranya, yang berada di LP Cipinang : Budiman Sudjatmiko, Petrus Haryanto, I.G.Anom Astika, Yakobus E.Kurniawan, Wilson Nurtias, Ign D.Pranowo, Suroso, Ken Budha Kusumandharu (kasus PRD), Fauzi Isman, Sudarsono (kasus Lampung), Abdul Latief, Bungkus, Asep Suryaman, Marsudi (kasus G30S/PKI), Xanana Gusmao, Joao F. de Camara (Timor Timur), dan Yacob Rumbiak (OPM).

Di tempat lainnya, Agus (Kasus Tanah Tinggi) berada di Rutan Salemba. Di penjara Tanggerang, ada Garda Sembiring (PRD). Di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur, Berar Fathia (Calon Presiden).

Lalu di luar Jakarta, ada : Hussein Al-Habsji, seorang ustadz tuna netra yang kini mendekam di LP Lowokwaru, Malang, Jawa Timur. Agustiana dkk, (kasus kerusuhan di Tasikmalaya, Jawa Barat, 26 Desember 1996) Ia kini berada di LP. Ciamis, Jawa Barat. Tjio Kim Tjang, (kerusuhan di Rengasdengklok, Jawa Barat, 30 Januari 1997.) Sadam Husein dan Suhardi, tokoh Komite Rakyat Pekalongan, Jawa Tengah, menggelar aksi 5 Februari 1998 di Pekalongan. Kasus GPK Warsidi, Lampung, 14 diantaranya dihukum di Nusakambangan, dan 1 di Lampung. Choen Husen Pontoh dkk (PRD di LP Kalisosok, Surabaya), Gerakan Aceh Merdeka, OPM Irianjaya, Timor Timur, dan lainnya, yang masih ditahan di beberapa tempat di seluruh Indonesia.

Selain yang berada di dalam negeri, masih ribuan orang Indonesia yang tidak bisa pulang ke tanah air, karena stempel orde lama, dan pembangkang. Rezim Suharto, tak menyukai orang-orang kritis itu kembali ke Indonesia. Sehingga, orang semacam, Yeni Rosa Damayanti, Jusfik Hajar, Pipit, dan lainnya, dianggap kuman yang akan merusak kehidupan rakyat Indonesia. Padahal itu keinginan Suharto dan antek-anteknya untuk berkuasa dan sewenang-wenang terhadap negri dan bangsa ini.

Namun bagi Muladi yang niat baiknya masih diragukan banyak pihak, mengizinkan orang-orang yang berada di luar negeri untuk pulang ke tanah air. ‘’Tap bagi yang berkaitan dengan orde lama kami akan mengadakan clearance dulu,’’katanya.

Menentang Seleksi

Seleksi pembebasan tahanan dan narapidana politik disayangkan dan ditolak banyak pihak. Begitu juga bagi bagi orang Indonesia yang tidak bisa kembali ke tanah air. ‘’Kalau rezim penguasa sudah diganti otomatis para tahanan politik harus dibebaskan, termasuk yang berada di luar negeri,’’kata Sri Bintang.

Direktur Eksekutif Perhimpunan Bantuan Hukum dan hak asai Manusia Indonesia (PBHI), Hendardi, juga tidak sepakat dengan seleksi Muladi. ‘’Kalau pemerintah yang baru mau mendapat point dari rakyat, pemerintahan yang sekarang harus berbeda dengan yang dulu. Ya, harus membebaskan tanpa kecuali,’’katanya.

Rezim orde baru di bawah Suharto, memang paling rajin menghukum orang yang berbeda pandangan dan keyakinan politik. Dan jalur hukum sering digunakan untuk merepresi rakyat seolah-olah keadilan akan dicapai di lembaga peradilan. ‘’Padahal itu sesuatu pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan terkonsepsi dengan prinsip seolah-olah keadilan akan dicapai. Padahal prinsipnya mau merepresi lewat tangan peradilan.’’ujar Hendardi. (**)

Napol PKI
Cipinang
Kolonel A.Latief
Sersan Mayor Boengkoes
Nathanael Marsudi
Asep Suryaman

Napol Islam
Ustadz Husein Al-habsyi (LP Lowokwaru, Malang)


Napol PRD
Cipinang
Budiman Sudjatmiko
Petrus Haryanto

Tanggerang Pria
Garda Sembiring

Tanggerang Wanita
Dita Indah Sari

Coen Hosen Pontoh (Surabaya)

Napol Timor Timur
Xanana Gusmao (dipindah ke cabang LP Cipinang)
Joao de Camara (Cipinang)

Napol Papua Merdeka
Yacob Rumbiak (Bebas bersyarat sampai...)

Napol Lampung,
Nur Hidayat (bebas bersyarat sampai...)

Belakangan setelah ada desakan dari luar negeri dan tidak tertangani kerusuhan-kerusuhan yang terus merebak di penjuru tanah air, pemerintah memindahkan Xanana Gusmao, ke suatu rumah di Jln. Percetakan Negara VII No.47, Jakarta Pusat dan dinyatakan sebagai cabang LP.

Tidak ada komentar: