Selasa, Mei 08, 2007

International Affair : Singapura

Tiada Lagi A Little Red Dot

“Kami tak melihat satu pun (mobil) Mercedes, Rolls-Royce, dan tas Prada terbang ke luar Singapura.” Ya, Song Seng Wun, ekonom regional CIMB-CK Securities, mengucapkan kata-kata tersebut demi menggambarkan: tidak ada yang berubah di negeri itu setelah perjanjian ekstradisi RI-Singapura ditandatangani.

Memang, tak kelihatan pengaruh kesepakatan itu terhadap pasar Singapura. Kalaupun ada reaksi, menurut manajer Jakarta pada Risk Management Advisory, Ken Conboy, cuma sebentar. Perjanjian ekstradisi itu, Conboy yakin, tak menjadikan para buron ekonomi Indonesia cepat dideportasi. “Para buron itu perlahan-lahan akan mencari tempat di mana tak ada perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan negara tujuan,” ucap penulis buku Kopassus dan Intel itu.

Song, konsultan pada CIMB-CK di Singapura, menjelaskan bahwa pemerintah Singapura, lewat media yang diaturnya, selalu memberikan informasi setiap kali ada perkembangan perjanjian dengan negara lain. Sehingga kalangan dunia usaha sudah siap dan pasar tidak kaget dengan hasil terakhirnya.

Menurut keterangan resmi, modal dari orang Indonesia hanya meliputi 2-3 persen dari jumlah total investasi asing yang keseluruhannya mencapai Sin$ 720 miliar. Dan secara khusus Menteri Mentor Singapura Lee Kuan Yew menyatakan, “Ingat, sektor keuangan negeri kami tidak dibangun dari uang orang Indonesia, tapi dari berbagai negara, seperti dari India, Cina, Timur Tengah, dan Eropa.”

Entahlah. Yang jelas, di samping itu, ada angka yang memperlihatkan gambaran alternatif. Menurut laporan perusahaan pengelola keuangan Merril Lynch dan Capgemini, ada 18 ribu pengusaha kaya Indonesia yang menyumbangkan 12 persen investasi di Singapura, dengan total dana US$ 87 miliar--setara dengan Rp 850 triliun. “Mereka adalah pemain kunci dari pasar properti dan bisnis besar di bidang bank swasta,” tulis Asia Pacific Wealth Report 2006.

Kini, setelah tarik-ulur soal penandatanganan perjanjian ekstradisi RI-Singapura itu berjalan 34 tahun, kita tinggal menunggu ratifikasi parlemen untuk mengimplementasikannya. Apa sih yang didapat Singapura di balik ini? Pencabutan larangan ekspor pasir darat? Sejauh ini, Singapura memang mendapatkan apa yang diinginkannya: perjanjian ekstradisi harus diterima berpasangan dengan perjanjian pertahanan kedua negara bertetangga itu.

Bagi Singapura, negeri mini yang memiliki armada udara besar, perjanjian pertahanan barusan memang menguntungkan (lihat “Menimbang Tarik dengan Ulur”). Singapura yang kecil kini mendapatkan ruang latihan militer yang cukup luas: di pekarangan tetangganya, Indonesia. Irit! Di samping itu, perjanjian pertahanan dengan Indonesia bisa mengurangi kecemasan Singapura akan tetangganya yang besar.

Pada 1990, terbit sebuah kecemasan ketika Irak, yang lebih miskin dan besar, menginvasi Kuwait, yang lebih kecil dan kaya. Sebuah kekhawatiran yang--tentu saja--wajar jika dirasakan negara kecil seperti Singapura. Kesadaran akan terbatasnya luas negara itu kembali muncul tujuh tahun silam. Dalam sebuah keterangannya di hadapan beberapa wartawan Taiwan, presiden ketiga Indonesia, B.J. Habibie, melukiskan negeri di utara Indonesia itu sebagai sebuah titik kecil di dalam peta, a little red dot.

“Singapura mengejar keuntungan lewat kerja sama militer dalam pakta pertahanan itu,” demikian guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, melukiskan pencapaian Singapura dalam perjanjian. Sebaliknya, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, yang menjadi saksi dalam penandatanganan perjanjian dua negara tersebut, menunjukkan suatu simbiosis. “Keduanya mendapatkan keuntungan yang seimbang dari perjanjian tersebut," kata Lee.

sumber : Tempo, EUXTV, Xinhua, TNR, dan Reuters

Tidak ada komentar: